Rabu, 28 Oktober 2015

DONGENG MISTIS GUNUNG ARJUNA


Dongeng Gunung Arjuna
Gunung Arjuna terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia. Menurut legenda yang beredar di kalangan masyarakat setempat, ketinggian gunung ini dahulu hampir mencapai langit. Namun, karena tersebab oleh sebuah peristiwa, gunung ini terpotong sehingga ketinggiannya hanya sekitar 3.339 meter di atas permukaan laut. Peristiwa apakah yang menyebabkan Gunung Arjuna terpotong? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Gunung Arjuna berikut ini!
Alkisah, dalam cerita pewayangan masyarakat Jawa, dikenal nama Pandawa, yang secara harfiah berarti "anak Pandu". Jadi, Pandawa adalah putra dari Pandu. Sementara itu, Pandu adalah seorang raja yang bertahta di Kerajaan Hastinapura. Prabu Pandu memiliki lima putra yang semuanya laki-laki. Mereka adalah Yudistira, Bima, Arjuna, serta si kembar Nakula dan Sadewa. Mereka semua merupakan saudara seayah karena lahir dari dua ibu yang berbeda. Yudistira, Bima, dan Arjuna lahir dari permaisuri pertama Prabu Pandu yang bemama Kunti, sedangkan Nakula dan Sadewa lahir dari permaisuri kedua yang bemama Madri.
Dari kelima Pandawa tersebut, Arjuna dikenal memiliki ilmu kesaktian yang tinggi dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Nama Arjuna diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti yang bersinar atau yang bercahaya. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra, sang Dewa Perang. Sebagai titisan Dewa Indra, Arjuna memiliki ilmu peperangan yang tinggi. Ia sangat mahir memanah dan sakti mandraguna. Semua kesaktian tersebut merupakan anugerah dari para Dewa karena ketekunannya bertapa. Namun, karena belum puas dengan kesaktian yang telah dimilikinya, Arjuna masih sering melakukan tapa untuk menambah kesaktiannya. Pada suatu hari, Arjuna pergi bertapa ke sebuah lereng gunung yang terletak di sebelah barat Batu, Malang. Suasana di lereng gunung itu sangat cocok untuk bertapa karena wilayah di sekitarnya merupakan daerah pegunungan yang berudara sejuk dan jauh dari permukiman penduduk. Itulah sebabnya, Arjuna memilih tempat itu agar dapat melaksanakan tapa dengan tenang dan khusyuk. Setiba di lereng gunung itu, Arjuna langsung duduk bersila di atas sebuah batu besar seraya memejamkan mata untuk memusatkan segenap pikirannya. Sesaat kemudian, ia pun terlarut dalam semadinya. Siang dan malam ia terus bersemadi dengan penuh khusyuk. Saking khusyuknya, tubuh putra ketiga Prabu Pandu itu memancarkan sinar yang memiliki kekuatan luar biasa. Beberapa saat kemudian, puncak gunung itu tiba-tiba terangkat ke atas. Semakin lama, puncak gunung itu semakin menjulang tinggi hingga menyentuh langit dan mengguncang Negeri Kahyangan.
Peristiwa tersebut membuat para Dewa di Kahyangan menjadi khawatir. jika guncangan itu terus terjadi, maka Negeri Kahyangan akan hancur. Oleh karena itu, mereka segera bertindak dengan mengutus Batara Narada ke bumi untuk mencari tahu penyebab guncangan itu. Setelah terbang berputar-putar di angkasa, ia pun melihat Arjuna sedang bertapa di lereng gunung. Ia pun segera menghampiri dan membujuk Arjuna agar menghentikan tapanya.
"Wahai Arjuna, bangunlah!" ujar Batara Narada, "jika kamu tidak segera menghentikan tapamu, gunung ini akan semakin tinggi dan para Dewa di Kahyangan akan celaka." Arjuna mendengar sabda Batara Narada itu, namun karena keangkuhannya ia enggan menghentikan tapanya. Ia berpikir, jika ia menghentikan tapa itu tentu para Dewa tidak akan memberinya banyak kesaktian. Sementara itu, Batara Narada yang gagal membujuk Arjuna segera kembali ke Kahyangan untuk melapor kepada para Dewa. Mengetahui hal itu, Batara Guru kemudian mendatangkan tujuh bidadari tercantik di Kahyangan untuk menggonda pemuda tampan itu agar mengakhiri tapanya. Sesampai di bumi, para bidadari segera merayu Arjuna dengan berbagai cara. Ada yang merayu dengan suara lembut, ada yang menari-nari di depannya, ada yang tertawa cekikikan, serta ada pula yang mencubit dan menggelitiknya. Namun, semua usaha tersebut tetap saja sia-sia. Akhirnya, mereka kembali ke Kahyangan dengan perasaan kecewa. Batara Guru yang mengetahui hal itu segera mengutus para dedemit untuk menakut-nakuti Arjuna. Namun, usaha yang mereka lakukan juga gagal. Berita tentang kegagalan itu segera mereka laporkan kepada Batara Guru. "Ampun, Batara Guru! Kami telah berusaha dengan berbagai cara, namun Arjuna justru semakin khusyuk dalam tapanya," lapor salah satu dedemit. Mendengar laporan itu, Batara Guru hanya terdiam. Pemimpin para Dewa itu mulai merasa cemas dan putus asa melihat kelakuan Arjuna. Untungnya ia segera ingat kepada Dewa Ismaya yang tak lain adalah Batara Semar, pengasuh Pandawa yang tinggal di Bumi. Ia pun mengutus Batara Narada untuk menemui Semar di Bumi.
"Wahai, Semar! Aku datang untuk meminta bantuanmu," kata Batara Narada. "Apa yang bisa saya bantu, Dewa Narada?" tanya Semar. Batara Narada pun menceritakan bahwa para Dewa di Kahyangan sedang dalam bahaya akibat perbuatan Arjuna. Ia juga menceritakan bahwa sudah berbagai cara yang telah mereka lakukan untuk menghentikan tapa Arjuna, namun semuanya sia-sia belaka.
"Kamulah satu-satunya harapan para Dewa di Kahyangan yang bisa membujuk Arjuna agar segera mengakhid tapanya," ungkap Batara Narada.
"Baiklah, kalau begitu. Saya akan berusaha untuk menyadarkan Arjuna," kata Semar menyanggupi. Setelah Batara Narada kembali ke Kahyangan, Batara Semar meminta bantuan kepada Batara Togog untuk melaksanakan tugas tersebut. Setibanya di lereng gunung tersebut, keduanya langsung bersemadi untuk menambah kesaktian mereka. Setelah itu, mereka mengubah tubuh mereka menjadi besar dan kemudian berdiri di sisi gunung yang berbeda. Dengan kesektiannya, mereka memotong gunung itu tepat di tengah-tengahnya dan kemudian melemparkan bagian atas gunung itu ke arah tenggara. Begitu bagian atas gunung itu terjatuh ke tanah, terdengarlah suara dentuman yang sangat keras disertai dengan guncangan yang sangat dahsyat.
"Hai, suara apa itu?" gumam Arjuna yang terbangun dari tapanya. Baru saja Arjuna selesai berguman, tiba-tiba Batara Semar dan Batara Togog datang menghampirinya. "Kami telah memotong dan melemparkan puncak gunung ini, Raden," kata Batara Semar. "Kenapa, Guru? Gara-gara suara itu aku terbangun dari tapaku. Tentu para Dewa tidak akan menambah kesaktianku," kata Arjuna. "Maaf, Den! Justru tapamu itu telah membuat para Dewa menjadi resah. Lagi pula, untuk apalagi kamu meminta banyak kesaktian? Bukankah sudah cukup dengan kesaktian yang telah kamu miliki saat ini?" ujar Batara Semar. "Benar kata Batara Semar, Den! Raden adalah seorang kesatria yang seharusnya memiliki sifat rendah hati. Apakah Raden tidak menyadari jika tapa Raden ini bisa mencelakakan banyak orang dan para Dewa?" imbuh Batara Togog. Mendengar nasehat tersebut, Arjuna menjadi sadar dan mengakui semua kesalahannya. Ia juga tidak lupa berterima kasih kepada Batara Semar dan Batara Togog karena telah menyadarkannya. Setelah itu, mereka pun segera meninggalkan gunung tersebut. Sejak itulah, gunung tempat Arjuna bertapa dinamakan Gunung Arjuna. Sementara itu, potongan gunung yang dilemparkan oleh Batara Semar dan Batara Togog dinamakan Gunung Wukir yang terletak di daerah Batu.
Demikian cerita Legenda Gunung Arjuna dari daerah Malang, Jawa Timur. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sifat serakah merupakan sifat yang tidak terpuji. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Arjuna yang tidak pernah merasa puas dengan kesaktian yang dimilikinya. Karena kesekarahannya, Arjuna pun mendapat teguran dari para Dewa.
Pesan moral lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan sifat mau mengakui kesalahan sendiri sebagaimana yang ditunjukkan oleh Arjuna. Dengan segala kerendahan hati, ia tidak malu mengakui kesalahannya. Bahkan, ia tidak sungkan untuk berterima kasih kepada Batara Semar dan Batara Togog yang telah menasehatinya

Sabtu, 24 Oktober 2015

DONGENG SUCI PANDANARANG


Dongeng Adipati Pandanarang
Zaman dahulu, Kota Semarang dipimpin oleh Adipati Pandanarang II dan mempunyai isteri bernama Nyai Pandanarang. Ia terkenal sebagai pemimpin yang jujur, tetapijuga orang yang menyukai harta benda berlimpah.
Sifat kurang baik Adipati ini terdengar oleh Sunan Kalijaga, seorang wali yang sangat arif  bijaksana. Sunan berniat mengingatkan Pandanarang II dengan menyamar sebaga I tukang rumput. Ketika lewat di halaman Kabupaten, Adipati Pandanarang II menawar rumputnya dengan harga sangat rendah.
Penjual rumput itu setuju dan meletakkan rumputnya di kandang. Sebelum pergi, ia menyelipkan yang lima sen di antara rerumputan. Uang tersebut ditemukan oleh abdi dalem Pandanarang II yang segera melaporkannya kepada tuannya.
Kejadian ini berulang kali terjadi selama satu minggu. Pandanarang II heran mengapa tukang rumput tersebut tidak pernah menanyakan uangnya. Ketika tukang rumput itu kembali datang, Pandanarang pun menanyakan asal usul tukang rumput itu. Ia juga menanyakan mengapa ia seperti tidak membutuhkan uang. Tukang rumput itu menjawab bahwa ia tidak butuh benda-benda duniawi yang melimpah karena semuanya tidak ada yang abadi. Ia juga bilang bahwa ada emas permata tertanam di dalam halaman istana.
Adipati Pandanarang marah mendengar jawaban itu. Ia merasa sedang dihina oleh tukang rumput itu. Namun, ternyata, kata-kata orang itu benar. Ada emas permata di dalam tanah istana. Akhirnya, Sang Adipati mengetahui bahwa orang itu adalah Sunan Kalijaga. Adipati itu memohon maaf dan memohon untuk jadi murid Sunan Kalijaga. Sunan Kali jaga menyetujuinya, asalkan Pandanarang melepaskan kegemarannya pada harta duniawi.
Isteri Sang Adipati pun ingin ikut suaminya. Namun, ia tak rela meninggalkan harta bendanya dan menyerahkannya kepada fakir miskin. Ia menyuruh suaminya berangkat lebih dulu. Lalu, perempuan ini menyimpan emas dan permata di dalam tongkatnya  yang terbuat dari bambu.
Pandanarang bisa menyusul Sunan Kalijaga. Mereka pun menempuh perjalanan bersama. Di perjalanan, mereka dihadang oleh tiga para penyamun.
“Kalau kau ingin barang berharga, tunggulah. Sebentar lagi, akan lewat seorang wanitatua. Cegatlah. Kau akan mendapatkan emas permata di dalam tongkat bambunya,” kata Sunan Kalijaga.
Lalu, muncullah Nyai Pandanarang berjalan tertatih-tatih dengan tongkat bambu. Ketiga penyamun menghadang perempuan itu dan merampas tongkat bambu yang ia pegang.Nyai Pandanarang tidak bisa berbuat apa-apa selain merelakan hartanya dirampas. Ketika berhasil bertemu dengan suaminya dan Sunan Kalijaga, ia menceritakan kejadian perampokan yang dialaminya sambil menangis.
“Kau tidak mendengarkan kata suamimu. Untuk berguru denganku, kalian harus meninggalkan harta duniawi. Jadi, kejadian ini salahmu sendiri,” ujar Sunan Kalijaga.
Untuk mengingat kejadian tersebut, Sunan Kalijaga menamakan daerah itu dengan “Salah Tiga”.
“Ada tiga yang melakukan kesalahan di sini, yaitu kau sendiri, suamimu, dan para penyamun itu. Kelak, tempat ini akan menjadi kota yang ramai,” kata Sunan Kalijaga.
Pada perkembangan selanjutnya, nama Salah Tiga bergeser ucapan nya menjadi Salatiga. Kini, Salatiga menjadi kota yang ramai seperti yang pernah diperkirakan oleh Sunan Kalijaga.




DONGENG MISTIS GUNUNG MEKONGA


Dongeng Asal Gunung Mekongga 
Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume (kini bernama Kolaka) dilanda sebuah malapetaka yang sangat dahsyat. Seekor burung garuda raksasa tiba-tiba mengacaukan negeri itu. Setiap hari burung itu menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik penduduk, baik itu kerbau, sapi, atau pun kambing. Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus, maka lama-kelamaan binatang ternak penduduk akan habis.
Penduduk Kolaka pun diselimuti perasaan khawatir dan takut. Jika suatu saat binatang ternak sudah habis, giliran mereka yang akan menjadi santapan burung garuda itu. Itulah sebabnya mereka takut pergi ke luar rumah mencari nafkah. Terutama penduduk yang sering melewati sebuah padang luas yang bernama Padang Bende. Padang ini merupakan pusat lalu-lintas penduduk menuju ke kebun masing-masing. Sejak kehadiran burung garuda itu, padang ini menjadi sangat sepi, karena tidak seorang pun penduduk yang berani melewatinya.
Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar bahwa di negeri Solumba (kini bernama Belandete) ada seorang pintar dan sakti yang bernama Larumbalangi. Ia memiliki sebilah keris dan selembar sarung pusaka yang dapat digunakan terbang. Maka diutuslah beberapa orang penduduk untuk menemui orang sakti itu di negeri Solumba. Agar tidak disambar burung garuda, mereka menyusuri hutan lebat dan menyelinap di balik pepohonan besar. Sesampainya di negeri Solumba, utusan itu pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka kepada Larumbalangi.
”Kalian jangan khawatir dengan keadaan ini. Tanpa aku terlibat langsung pun, kalian dapat mengatasi keganasan burung garuda itu,” ujar Larumbalangi sambil tersenyum simpul.
”Bagaimana caranya? Jangankan melawan burung garuda itu, keluar dari rumah saja kami tidak berani,” ucap salah seorang utusan.

”Begini saudara-saudara. Kumpulkan buluh (bambu) yang sudah tua, lalu buatlah bambu runcing sebanyak-banyaknya. Setelah itu carilah seorang laki-laki pemberani dan perkasa untuk dijadikan umpan burung garuda itu di tengah padang. Kemudian, pagari orang itu dengan bambu runcing dan ranjau!” perintah Larumbalangi.
Setelah mendengar penjelasan itu, para utusan kembali ke daerahnya untuk menyampaikan pesan Larumbalangi. Penduduk negeri itu pun segera mengundang para kesatria untuk mengikuti sayembara menaklukkan burung garuda.
Keesokan harinya, ratusan kesatria datang dari berbagai daerah untuk memenuhi undangan tersebut. Mereka berkumpul di halaman rumah sesepuh Kolaka.
”Wahai saudara-saudara! Barangsiapa yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan burung garuda itu, jika ia seorang budak, maka dia akan diangkat menjadi bangsawan, dan jika ia seorang bangsawan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin negeri ini,” sesepuh negeri itu memberi sambutan.
Setelah itu, sayembara pun dilaksanakan dengan penuh ketegangan. Masing-masing peserta memperlihatkan kesaktian dan kekuatannya. Akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh seorang budak laki-laki bernama Tasahea dari daerah Loeya.
Pada waktu yang telah ditentukan, Tasahea dibawa ke Padang Bende untuk dijadikan umpan burung garuda. Ketika berada di tengah-tengah padang tersebut, budak itu dipagari puluhan bambu runcing. Ia kemudian dibekali sebatang bambu runcing yang sudah dibubuhi racun. Setelah semuanya siap, para warga segera bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hutan di sekitar padang tersebut. Tinggallah Tasahea seorang diri di tengah lapangan menunggu kedatangan burung garuda itu.
Menjelang tengah hari, cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. Itu pertanda bahwa burung garuda sedang mengintai mangsanya. Alangkah senang hati burung garuda itu saat melihat sosok manusia sedang berdiri di tengah Padang Bende. Oleh karena sudah sangat kelaparan, ia pun segera terbang merendah menyambar Tasahea. Namun, malang nasib burung garuda itu. Belum sempat cakarnya mencengkeram Tasahea, tubuh dan sayapnya sudah tertusuk bambu runcing terlebih dahulu.
Tasahea pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan, ia melemparkan bambu runcingnya ke arah dada burung garuda itu. Dengan suara keras, burung garuda itu kembali menjerit kesakitan sambil mengepak-epakkan sayapnya. Setelah sayapnya terlepas dari tusukan bambu runcing, burung itu terbang tinggi menuju Kampung Pomalaa dengan melewati Kampung Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, dan Palau Maniang. Akan tetapi, sebelum sampai Pomalaa, ia terjatuh di puncak gunung yang tinggi, karena kehabisan tenaga. Akhirnya ia pun mati di tempat itu.
Sementara itu, penduduk Kolaka menyambut gembira Tasahea yang telah berhasil menaklukkan burung garuda itu. Mereka pun mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Namun, ketika memasuki hari ketujuh yang merupakan puncak dari pesta tersebut, tiba-tiba mereka mencium bau bangkai yang sangat menyengat. Pada saat itu, tersebarlah wabah penyakit mematikan. Banyak penduduk meninggal dunia terserang sakit perut dan muntah-muntah. Sungai, pepohonan, dan tanaman penduduk dipenuhi ulat. Tak satu pun tanaman penduduk yang dapat dipetik hasilnya, karena habis dimakan ulat. Akibatnya, banyak penduduk yang mati kelaparan.
Penduduk yang masih tersisa kembali panik dan cemas melihat kondisi yang mengerikan itu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mereka pun segera mengutus beberapa orang ke negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi.
”Negeri kami dilanda musibah lagi,” lapor salah seorang utusan.
”Musibah apalagi yang menimpa kalian?” tanya Larumbalangi
”Iya, Tuan! Negeri kami kembali dilanda bencana yang sangat mengerikan,” jawab seorang utusan lainnya, seraya menceritakan semua perihal yang terjadi di negeri mereka.
”Baiklah, kalau begitu keadaannya. Kembalilah ke negeri kalian. Tidak lama lagi musibah ini akan segera berakhir,” ujar Larumbalangi.
Setelah para utusan tersebut pergi, Larumbalangi segera memejamkan mata dan memusatkan konsentrasinya. Mulutnya komat-kamit membaca doa sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit.
”Ya Tuhan! Selamatkanlah penduduk negeri Kolaka dari bencana ini. Turunkanlah hujan deras, agar bangkai burung garuda dan ulat-ulat itu hanyut terbawa arus banjir!” demikian doa Larumbalangi.
Beberapa saat kemudian, Tuhan pun mengabulkan permohonan Larumbalangi. Cuaca di Kolaka yang semula cerah, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Awan tiba-tiba menggumpal menjadi hitam. Tidak berapa lama, terdengarlah suara guntur dan suara petir. Hujan deras pun turun tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh sungai yang ada di negeri Kolaka dilanda banjir besar. Bangkai dan tulang belulang burung garuda itu pun terbawa arus air sungai. Demikian pula ulat-ulat yang melekat di dedaunan dan pepohonan, semuanya hanyut ke laut.
Itulah sebabnya laut di daerah Kolaka terdapat banyak ikan dan batu karangnya. Gunung tempat jatuh dan terbunuhnya burung garuda itu dinamakan Gunung Mekongga, yang artinya gunung tempat matinya elang besar atau garuda. Sementara sungai besar tempat hanyutnya bangkai burung garuda dinamakan Sungai Lamekongga, yaitu sungai tempat hanyutnya bangkai burung garud

DONGENG PUTRI JUNJUNG BUIH


Dongeng Putri Junjung Buih
Tersebutlah kisah sebuah kerajaan bernama Amuntai di Kalimantan Selatan. Kerajaan itu diperintah oleh dua bersaudara. Raja yang lebih tua bernama Patmaraga, atau diberi julukan Raja Tua. Adiknya si Raja muda bernama Sukmaraga. Kedua raja tersebut belum mempunyai putera ataupun puteri. Namun diantara keduanya, Sukmaraga yang berkeinginan besar untuk mempunyai putera. Setiap malam ia dan permaisurinya memohon kepada para dewa agar dikarunia sepasang putera kembar. Keinginan tersebut rupanya akan dikabulkan oleh para dewa. Ia mendapat petunjuk untuk pergi bertapa ke sebuah pulau di dekat kota Banjarmasin. Di dalam pertapaannya, ia mendapat wangsit agar meminta istrinya menyantap bunga Kastuba. Sukmaraga pun mengikuti perintah itu.
Benar seperti petunjuk para dewa, beberapa bulan kemudian permaisurinya hamil. Ia melahirkan sepasang bayi kembar yang sangat elok wajahnya. Mendengar hal tersebut, timbul keinginan Raja Tua untuk mempunyai putera pula. Kemudian ia pun memohon kepada para dewa agar dikarunia putera. Raja Tua bermimpi disuruh dewa bertapa di Candi Agung, yang terletak di luar kota Amuntai. Raja Tua pun mengikuti petunjuk itu. Ketika selesai menjalankan pertapaan, dalam perjalanan pulang ia menemukan sorang bayi perempuan sedang terapung-apung di sebuah sungai. Bayi tersebut terapung-apung diatas segumpalan buih. Oleh karena itu, bayi yang sangat elok itu kelak bergelar Puteri Junjung Buih.
Raja Tua lalu memerintahkan pengetua istana, Datuk Pujung, untuk mengambil bayi tersebut. Namun alangkah terkejutnya rombongan kerajaan tersebut, karena bayi itu sudah dapat berbicara. Sebelum diangkat dari buih-buih itu, bayi tersebut meminta untuk ditenunkan selembar kain dan sehelai selimut yang harus diselesaikan dalam waktu setengah hari. Ia juga meminta untuk dijemput dengan empat puluh orang wanita cantik. Raja Tuapun lalu menyayembarakan permintaan bayi tersebut. Ia berjanji untuk mengangkat orang yang dapat memenuhi permintaan bayi tersebut menjadi pengasuh dari puteri ini. Sayembara itu akhirnya dimenangkan oleh seorang wanita bernama Ratu Kuripan. Selain pandai menenun, iapun memiliki kekuatan gaib. Bukan hanya ia dapat memenuhi persyaratan waktu yang singkat itu,
Ratu Kuripan pun menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat mengagumkan. Kain dan selimut yang ditenunnnya sangatlah indah. Seperti yang dijanjikan, kemudian Raja Tua mengangkat Ratu Kuripan menjadi pengasuh si puteri Junjung Buih. Ia ikut berperanan besar dalam hamper setiap keputusan penting menyangkut sang puteri.