Dongeng Gunung Arjuna
Gunung Arjuna terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia. Menurut
legenda yang beredar di kalangan masyarakat setempat, ketinggian gunung ini
dahulu hampir mencapai langit. Namun, karena tersebab oleh sebuah peristiwa,
gunung ini terpotong sehingga ketinggiannya hanya sekitar 3.339 meter di atas
permukaan laut. Peristiwa apakah yang menyebabkan Gunung Arjuna terpotong?
Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Gunung Arjuna berikut ini!
Alkisah, dalam cerita pewayangan masyarakat Jawa, dikenal nama Pandawa,
yang secara harfiah berarti "anak Pandu". Jadi, Pandawa adalah putra
dari Pandu. Sementara itu, Pandu adalah seorang raja yang bertahta di Kerajaan
Hastinapura. Prabu Pandu memiliki lima putra yang semuanya laki-laki. Mereka
adalah Yudistira, Bima, Arjuna, serta si kembar Nakula dan Sadewa. Mereka semua
merupakan saudara seayah karena lahir dari dua ibu yang berbeda. Yudistira,
Bima, dan Arjuna lahir dari permaisuri pertama Prabu Pandu yang bemama Kunti,
sedangkan Nakula dan Sadewa lahir dari permaisuri kedua yang bemama Madri.
Dari kelima Pandawa tersebut, Arjuna dikenal memiliki ilmu kesaktian yang
tinggi dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Nama Arjuna diambil dari bahasa
Sansekerta yang berarti yang bersinar atau yang bercahaya. Ia merupakan
penjelmaan dari Dewa Indra, sang Dewa Perang. Sebagai titisan Dewa Indra,
Arjuna memiliki ilmu peperangan yang tinggi. Ia sangat mahir memanah dan sakti
mandraguna. Semua kesaktian tersebut merupakan anugerah dari para Dewa karena
ketekunannya bertapa. Namun, karena belum puas dengan kesaktian yang telah
dimilikinya, Arjuna masih sering melakukan tapa untuk menambah kesaktiannya.
Pada suatu hari, Arjuna pergi bertapa ke sebuah lereng gunung yang terletak di
sebelah barat Batu, Malang. Suasana di lereng gunung itu sangat cocok untuk
bertapa karena wilayah di sekitarnya merupakan daerah pegunungan yang berudara
sejuk dan jauh dari permukiman penduduk. Itulah sebabnya, Arjuna memilih tempat
itu agar dapat melaksanakan tapa dengan tenang dan khusyuk. Setiba di lereng
gunung itu, Arjuna langsung duduk bersila di atas sebuah batu besar seraya
memejamkan mata untuk memusatkan segenap pikirannya. Sesaat kemudian, ia pun terlarut
dalam semadinya. Siang dan malam ia terus bersemadi dengan penuh khusyuk.
Saking khusyuknya, tubuh putra ketiga Prabu Pandu itu memancarkan sinar yang
memiliki kekuatan luar biasa. Beberapa saat kemudian, puncak gunung itu
tiba-tiba terangkat ke atas. Semakin lama, puncak gunung itu semakin menjulang
tinggi hingga menyentuh langit dan mengguncang Negeri Kahyangan.
Peristiwa tersebut membuat para Dewa di Kahyangan menjadi khawatir. jika
guncangan itu terus terjadi, maka Negeri Kahyangan akan hancur. Oleh karena
itu, mereka segera bertindak dengan mengutus Batara Narada ke bumi untuk
mencari tahu penyebab guncangan itu. Setelah terbang berputar-putar di angkasa,
ia pun melihat Arjuna sedang bertapa di lereng gunung. Ia pun segera
menghampiri dan membujuk Arjuna agar menghentikan tapanya.
"Wahai Arjuna, bangunlah!" ujar Batara Narada, "jika kamu
tidak segera menghentikan tapamu, gunung ini akan semakin tinggi dan para Dewa
di Kahyangan akan celaka." Arjuna mendengar sabda Batara Narada itu, namun
karena keangkuhannya ia enggan menghentikan tapanya. Ia berpikir, jika ia
menghentikan tapa itu tentu para Dewa tidak akan memberinya banyak kesaktian.
Sementara itu, Batara Narada yang gagal membujuk Arjuna segera kembali ke
Kahyangan untuk melapor kepada para Dewa. Mengetahui hal itu, Batara Guru
kemudian mendatangkan tujuh bidadari tercantik di Kahyangan untuk menggonda
pemuda tampan itu agar mengakhiri tapanya. Sesampai di bumi, para bidadari
segera merayu Arjuna dengan berbagai cara. Ada yang merayu dengan suara lembut,
ada yang menari-nari di depannya, ada yang tertawa cekikikan, serta ada pula
yang mencubit dan menggelitiknya. Namun, semua usaha tersebut tetap saja
sia-sia. Akhirnya, mereka kembali ke Kahyangan dengan perasaan kecewa. Batara
Guru yang mengetahui hal itu segera mengutus para dedemit untuk menakut-nakuti
Arjuna. Namun, usaha yang mereka lakukan juga gagal. Berita tentang kegagalan
itu segera mereka laporkan kepada Batara Guru. "Ampun, Batara Guru! Kami
telah berusaha dengan berbagai cara, namun Arjuna justru semakin khusyuk dalam
tapanya," lapor salah satu dedemit. Mendengar laporan itu, Batara Guru
hanya terdiam. Pemimpin para Dewa itu mulai merasa cemas dan putus asa melihat
kelakuan Arjuna. Untungnya ia segera ingat kepada Dewa Ismaya yang tak lain
adalah Batara Semar, pengasuh Pandawa yang tinggal di Bumi. Ia pun mengutus
Batara Narada untuk menemui Semar di Bumi.
"Wahai, Semar! Aku datang untuk meminta bantuanmu," kata Batara
Narada. "Apa yang bisa saya bantu, Dewa Narada?" tanya Semar. Batara
Narada pun menceritakan bahwa para Dewa di Kahyangan sedang dalam bahaya akibat
perbuatan Arjuna. Ia juga menceritakan bahwa sudah berbagai cara yang telah
mereka lakukan untuk menghentikan tapa Arjuna, namun semuanya sia-sia belaka.
"Kamulah satu-satunya harapan para Dewa di Kahyangan yang bisa
membujuk Arjuna agar segera mengakhid tapanya," ungkap Batara Narada.
"Baiklah, kalau begitu. Saya akan berusaha untuk menyadarkan
Arjuna," kata Semar menyanggupi. Setelah Batara Narada kembali ke
Kahyangan, Batara Semar meminta bantuan kepada Batara Togog untuk melaksanakan
tugas tersebut. Setibanya di lereng gunung tersebut, keduanya langsung
bersemadi untuk menambah kesaktian mereka. Setelah itu, mereka mengubah tubuh
mereka menjadi besar dan kemudian berdiri di sisi gunung yang berbeda. Dengan
kesektiannya, mereka memotong gunung itu tepat di tengah-tengahnya dan kemudian
melemparkan bagian atas gunung itu ke arah tenggara. Begitu bagian atas gunung
itu terjatuh ke tanah, terdengarlah suara dentuman yang sangat keras disertai
dengan guncangan yang sangat dahsyat.
"Hai, suara apa itu?" gumam Arjuna yang terbangun dari tapanya.
Baru saja Arjuna selesai berguman, tiba-tiba Batara Semar dan Batara Togog
datang menghampirinya. "Kami telah memotong dan melemparkan puncak gunung
ini, Raden," kata Batara Semar. "Kenapa, Guru? Gara-gara suara itu
aku terbangun dari tapaku. Tentu para Dewa tidak akan menambah
kesaktianku," kata Arjuna. "Maaf, Den! Justru tapamu itu telah
membuat para Dewa menjadi resah. Lagi pula, untuk apalagi kamu meminta banyak
kesaktian? Bukankah sudah cukup dengan kesaktian yang telah kamu miliki saat
ini?" ujar Batara Semar. "Benar kata Batara Semar, Den! Raden adalah
seorang kesatria yang seharusnya memiliki sifat rendah hati. Apakah Raden tidak
menyadari jika tapa Raden ini bisa mencelakakan banyak orang dan para
Dewa?" imbuh Batara Togog. Mendengar nasehat tersebut, Arjuna menjadi
sadar dan mengakui semua kesalahannya. Ia juga tidak lupa berterima kasih
kepada Batara Semar dan Batara Togog karena telah menyadarkannya. Setelah itu,
mereka pun segera meninggalkan gunung tersebut. Sejak itulah, gunung tempat
Arjuna bertapa dinamakan Gunung Arjuna. Sementara itu, potongan gunung yang
dilemparkan oleh Batara Semar dan Batara Togog dinamakan Gunung Wukir yang
terletak di daerah Batu.
Demikian cerita Legenda Gunung Arjuna dari daerah Malang, Jawa Timur. Pesan
moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sifat serakah
merupakan sifat yang tidak terpuji. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku
Arjuna yang tidak pernah merasa puas dengan kesaktian yang dimilikinya. Karena
kesekarahannya, Arjuna pun mendapat teguran dari para Dewa.
Pesan moral lain
yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan sifat mau mengakui
kesalahan sendiri sebagaimana yang ditunjukkan oleh Arjuna. Dengan segala
kerendahan hati, ia tidak malu mengakui kesalahannya. Bahkan, ia tidak sungkan
untuk berterima kasih kepada Batara Semar dan Batara
Togog yang telah menasehatinya