Dongeng Asal Gunung Mekongga
Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume (kini bernama Kolaka) dilanda
sebuah malapetaka yang sangat dahsyat. Seekor burung
garuda raksasa tiba-tiba mengacaukan negeri itu. Setiap hari burung itu
menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik penduduk, baik
itu kerbau, sapi, atau pun kambing. Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus,
maka lama-kelamaan binatang ternak penduduk akan habis.
Penduduk Kolaka pun diselimuti perasaan khawatir dan takut. Jika suatu saat
binatang ternak sudah habis, giliran mereka yang akan menjadi santapan burung
garuda itu. Itulah sebabnya mereka takut pergi ke luar rumah mencari nafkah.
Terutama penduduk yang sering melewati sebuah padang luas yang bernama Padang
Bende. Padang ini merupakan pusat lalu-lintas penduduk menuju ke kebun
masing-masing. Sejak kehadiran burung garuda itu, padang ini menjadi sangat
sepi, karena tidak seorang pun penduduk yang berani melewatinya.
Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar bahwa di negeri Solumba (kini
bernama Belandete) ada seorang pintar dan sakti yang bernama Larumbalangi. Ia
memiliki sebilah keris dan selembar sarung pusaka yang dapat digunakan terbang.
Maka diutuslah beberapa orang penduduk untuk menemui orang sakti itu di negeri
Solumba. Agar tidak disambar burung garuda, mereka menyusuri hutan lebat dan
menyelinap di balik pepohonan besar. Sesampainya di negeri Solumba, utusan itu
pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka kepada
Larumbalangi.
”Kalian jangan
khawatir dengan keadaan ini. Tanpa aku terlibat langsung pun, kalian dapat
mengatasi keganasan burung garuda itu,” ujar Larumbalangi sambil tersenyum
simpul.”Bagaimana caranya? Jangankan melawan burung garuda itu, keluar dari rumah saja kami tidak berani,” ucap salah seorang utusan.
”Begini saudara-saudara. Kumpulkan buluh (bambu) yang sudah tua, lalu buatlah bambu runcing sebanyak-banyaknya. Setelah itu carilah seorang laki-laki pemberani dan perkasa untuk dijadikan umpan burung garuda itu di tengah padang. Kemudian, pagari orang itu dengan bambu runcing dan ranjau!” perintah Larumbalangi.
Setelah mendengar penjelasan itu, para utusan kembali ke daerahnya untuk
menyampaikan pesan Larumbalangi. Penduduk negeri itu pun segera mengundang para
kesatria untuk mengikuti sayembara menaklukkan burung garuda.
Keesokan harinya, ratusan kesatria datang dari berbagai daerah untuk
memenuhi undangan tersebut. Mereka berkumpul di halaman rumah sesepuh Kolaka.
”Wahai saudara-saudara! Barangsiapa yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan burung garuda itu, jika ia seorang budak, maka dia akan diangkat menjadi bangsawan, dan jika ia seorang bangsawan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin negeri ini,” sesepuh negeri itu memberi sambutan.
”Wahai saudara-saudara! Barangsiapa yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan burung garuda itu, jika ia seorang budak, maka dia akan diangkat menjadi bangsawan, dan jika ia seorang bangsawan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin negeri ini,” sesepuh negeri itu memberi sambutan.
Setelah itu, sayembara pun dilaksanakan dengan penuh ketegangan.
Masing-masing peserta memperlihatkan kesaktian dan kekuatannya. Akhirnya
sayembara itu dimenangkan oleh seorang budak laki-laki bernama Tasahea dari
daerah Loeya.
Pada waktu yang telah ditentukan, Tasahea dibawa ke Padang Bende untuk
dijadikan umpan burung garuda. Ketika berada di tengah-tengah padang tersebut,
budak itu dipagari puluhan bambu runcing. Ia kemudian dibekali sebatang bambu
runcing yang sudah dibubuhi racun. Setelah semuanya siap, para warga segera
bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hutan di sekitar padang tersebut.
Tinggallah Tasahea seorang diri di tengah lapangan menunggu kedatangan burung
garuda itu.
Menjelang tengah hari, cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi
mendung. Itu pertanda bahwa burung garuda sedang mengintai mangsanya. Alangkah
senang hati burung garuda itu saat melihat sosok manusia sedang berdiri di
tengah Padang Bende. Oleh karena sudah sangat kelaparan, ia pun segera terbang
merendah menyambar Tasahea. Namun, malang nasib burung garuda itu. Belum sempat
cakarnya mencengkeram Tasahea, tubuh dan sayapnya sudah tertusuk bambu runcing
terlebih dahulu.
Tasahea pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan, ia melemparkan
bambu runcingnya ke arah dada burung garuda itu. Dengan suara keras, burung
garuda itu kembali menjerit kesakitan sambil mengepak-epakkan sayapnya. Setelah
sayapnya terlepas dari tusukan bambu runcing, burung itu terbang tinggi menuju
Kampung Pomalaa dengan melewati Kampung Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, dan Palau
Maniang. Akan tetapi, sebelum sampai Pomalaa, ia terjatuh di puncak gunung yang
tinggi, karena kehabisan tenaga. Akhirnya ia pun mati di tempat itu.
Sementara itu, penduduk Kolaka menyambut gembira Tasahea yang telah
berhasil menaklukkan burung garuda itu. Mereka pun mengadakan pesta selama
tujuh hari tujuh malam. Namun, ketika memasuki hari ketujuh yang merupakan
puncak dari pesta tersebut, tiba-tiba mereka mencium bau bangkai yang sangat
menyengat. Pada saat itu, tersebarlah wabah penyakit mematikan. Banyak penduduk
meninggal dunia terserang sakit perut dan muntah-muntah. Sungai, pepohonan, dan
tanaman penduduk dipenuhi ulat. Tak satu pun tanaman penduduk yang dapat
dipetik hasilnya, karena habis dimakan ulat. Akibatnya, banyak penduduk yang
mati kelaparan.
Penduduk yang masih tersisa kembali panik dan cemas melihat kondisi yang
mengerikan itu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mereka pun segera
mengutus beberapa orang ke negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi.
”Negeri kami
dilanda musibah lagi,” lapor salah seorang utusan.”Musibah apalagi yang menimpa kalian?” tanya Larumbalangi
”Iya, Tuan! Negeri kami kembali dilanda bencana yang sangat mengerikan,” jawab seorang utusan lainnya, seraya menceritakan semua perihal yang terjadi di negeri mereka.
”Baiklah, kalau begitu keadaannya. Kembalilah ke negeri kalian. Tidak lama lagi musibah ini akan segera berakhir,” ujar Larumbalangi.
Setelah para utusan tersebut pergi, Larumbalangi segera memejamkan mata dan
memusatkan konsentrasinya. Mulutnya komat-kamit membaca doa sambil
menengadahkan kedua tangannya ke langit.
”Ya Tuhan!
Selamatkanlah penduduk negeri Kolaka dari bencana ini. Turunkanlah hujan deras,
agar bangkai burung garuda dan ulat-ulat itu hanyut terbawa arus banjir!”
demikian doa Larumbalangi.
Beberapa saat kemudian, Tuhan pun mengabulkan permohonan Larumbalangi.
Cuaca di Kolaka yang semula cerah, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Awan
tiba-tiba menggumpal menjadi hitam. Tidak berapa lama, terdengarlah suara
guntur dan suara petir. Hujan deras pun turun tanpa henti selama tujuh hari
tujuh malam. Seluruh sungai yang ada di negeri Kolaka dilanda banjir besar.
Bangkai dan tulang belulang burung garuda itu pun terbawa arus air sungai.
Demikian pula ulat-ulat yang melekat di dedaunan dan pepohonan, semuanya hanyut
ke laut.
Itulah sebabnya
laut di daerah Kolaka terdapat banyak ikan dan batu karangnya. Gunung tempat
jatuh dan terbunuhnya burung garuda itu dinamakan Gunung Mekongga, yang artinya
gunung tempat matinya elang besar atau garuda. Sementara sungai besar tempat
hanyutnya bangkai burung garuda dinamakan Sungai Lamekongga, yaitu sungai
tempat hanyutnya bangkai burung garud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar