BUDAYA MANDI AIR SEDUDO
Setiap tempat, baik desa maupun kota memiliki keunikan tersendiri dalam
masyarakat melakukan keberlangsungan kehidupan nya dalam hidup sosial. Terutama
di desa yang masih memiliki kekhasan tersendiri dan terjaga hingga masa modern
sekarang ini. \kekhasan itulah yang disebut Kearifan Lokal.
Kabupaten Nganjuk adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur,
Indonesia. Mungkin sekilas kearifan di tiap tiap daerah di Jawa Timur banyak
memiliki kesamaan. Mulai dari struktur kebudayaan yang relatif sama, hingga
peninggalan nenek moyang yang sama. Tentu saja, kebanyakan budaya Jawa Timur
berasal dari kerajaan – kerajaan ynag singgah di tanah ini. Ada Kerajaan
Singosari, Kerajaan Dhaha, dan yang lumayan besar yakni Kerajaan Majapahit yang
dulu nya sempat mundur ke Jawa Timur karena serangan dari Kerajaan Sriwijaya
yang melakukan ekspedisi ke Pulau Jawa. Itu salah satu sebab, budaya Jawa Timur
dan Jawa Tengah masih mirip, karena masih satu suku. Berbeda dengan Jawa Barat
yang notabene suku Sunda.
Kabupaten Nganjuk adalah bekas singgah salah satu Kerajaan Majapahit yang saat
itu dibagi dua oleh raja nya waktu itu karena sesaat sesudah menghindari
serangan Kerajaan Sriwijaya serta bekas tempat perang Empu Sendok ( masih
bagian dari Kerajaan Majapahit ) dengan salah satu Kerajaan Kecil di Jawa
Timur. Sebelum diganti nama Nganjuk, nama tempat itu adalah Anjuk Ladang.
Nganjuk memiliki julukan “ Kota Bayu “ atau “ Kota Angin “, karena hembusan
Angin yang terus menerus dari tiga Gunung Gunung Wilis, Gunung Kelud, dan
Gunung Arjuna. Tempat Kabupaten Nganjuk di lereng antara gunung – gunung
tersebut, sehingga angin di sana begitu kencang.
Terkait dengan pengetahuan lain, di kabupaten Nganjuk ada beberapa mitos yang
masih diyakini oleh masyarakat disana. Seperti, ketika bulan Syura (
Tanggal Jawa), banyak masyarakat yang pergi ke Air
Terjun Sedudo untuk mandi. Masyarakat meyakini bahwa mandi disana pada
waktu itu, bisa membuat awet muda. Selain itu, juga diadakan upacara jawa untuk
menyambut bulan Syura. selain itu diadakan tahlilan, acara bersih desa
dan pesta rakyat yang dilakukan oleh warga desa untuk melakukan memperingati
hal tertentu. Tidak jarang acara yang dilaksanakan disana, masih bernuansa
budaya tradisional yang secara turun temurun di lakukan. Sehingga, budaya dan
ilmu pengetahuan disana masih dijaga dan dilestarikan dengan baik
Kamis, 17 Desember 2015
BUDAYA MISTIS HAMPATUNG
BUDAYA MAGIS HAMPATUNG
Hampatung atau patung dalam Budaya Suku Dayak bukan sekedar benda hasil kreatifitas seni semata. Namun, Hampatung juga diidentikkan sebagai benda magis dan nilai-nilai sakral yang terkandung di dalamnya. Karena itulah teknik pembuatan Hampatung memiliki tata cara tersendiri sesuai adat budaya Suku Dayak yang tidak boleh dilanggar.
Sebelum membuat Hampatung, sang pembuat hampatung tersebut harus memikirkan terlebih dahulu hampatung yang akan dibuat berdasarkan fungsinya. Setelah itu mereka (orang yang membuat hampatung) mencoba mencari ilham, inspirasi atau petunjuk baik melalui mimpi, meramal atau dalam bahasa suku Dayak disebut Beramu (mencari kayu di hutan untuk membuat sebuah Hampatung) berdasarkan Petendo atau petunjuk alam.
Biasanya apabila ranting kayu jatuh tidak jauh dari dirinya apalagi jika jatuh di sebelah kanan maka dilihatlah sumber kayu itu sebagai bahan yang tepat untuk dibuat menjadi Hampatung. Tentunya juga, akan diperhatikan jenis dan kualitas kekuatan kayu serta kelenturan dan kemudahan saat dibentuk.
Saat mengambil kayu bahan Hampatung tersebut untuk dipotong biasanya akan diadakan Acara Manawur (menabur beras kuning) ke sekitar pohon sebagai bentuk permohonan ijin untuk mengambil kayu sebagai bahan dasar Hampatung. Bersamaan dengan itu juga, diucapkan hakekat manfaat pembuatan Hampatung tadi agar nilai magis ikut terkandung bersama pohon yang dipotong.
Selanjutnya diadakan pengukuran sebesar apa rencana Hampatung dibuat, sambil tetap memperhatikan hal magis yang ada baru setelah itu dilihat hakekat pembuatan dari Hampatung itu sendiri.
Bahan yang digunakan untuk membuat suatu Hampatung umumnya sering mengunakan jenis-jenis kayu seperti: Manang, Sungkapu (kayu pohon magis), Kajunjung, Busi, Tali dan lainnya. Adapun bentuk-bentuk Hampatung yang seringkali dibuat oleh warga Suku Dayak antara lain adalah Hampatung Karuhei, Penyang, Sapundu dan Luhing Munduk (Pahatan Sandung).
BUDAYA MISTIS PAMADIHIN .
BUDAYA SYAIR
MISTIK PAMADIHIN
Kalimantan
Selatan adalah salah satu provinsi di Indonesia yang
terletak di pulau Kalimantan.
Ibukotanya adalah Banjarmasin.
Provinsi Kalimantan Selatan memiliki luas 37.530,52 km². Menurut survei
Provinsi ini mempunyai 11 kabupaten dan
2 kota. Kalimantan
Selatan secara geografi terletak di sebelah selatan pulau Kalimantan dengan
luas wilayah 37.530,52 km2 atau 3.753.052 ha. Sampai dengan tahun 2004
membawahi kabupaten/kota sebanyak 11 kabupaten/kota dan pada tahun 2005 menjadi
13 kabupaten/kota sebagai akibat dari adanya pemekaran wilayah kabupaten Hulu
Sungai Utara dengan Kabupaten Balangan dan Kabupaten Kotabaru dengan Kabupaten
Tanah Bumbu.
Penduduk
Kalimantan Selatan berjumlah 3.626.616 jiwa (2010). Kesenian dari Kalimantan
selatan diantaranya adalah Tarian tradisional. Tari dari Kalimantan Selatan secara
garis besarnya adalah dari adat budaya etnis Banjar dan etnis Dayak. Tari
Banjar berkembang sejak masa Kesultanan Banjar dan dipengaruhi oleh budaya Jawa
dan Melayu, misalnya Tari Japin dan Tari Baksa Kembang. Menurut sejarahnya
secara umum busana adat pengantin banjar terdiri dari 4 jenis, yaitu bagajah
gamulung baular lutut, ba’amar galung pancaran mata hari, dan babajukun galung
pacinan dan babaju kubaya panjang.
Berbicara
mengenai budaya lokal dari suku Banjar yang ada di Kalimantan Selatan, tidak
akan terlepas dari yang namanya kesenian Madihin dan cerita Palui. Madihin
adalah salah satu kesenian khas Banjar yang sangat terkenal. Madihin berasal
dari kata madah dalam bahasa arab artinya nasihahat. Madihin dapat diartikan
sebagai sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia, karena ia nenyanyikan
syair-syair yang berasal dari kata akhir persamaan bunyi atau sebagai kalimat
puji-pujian (bahasa arab) karena bisa dilihat dari kalimat dalam madihin yang
kadang kala berupa puji-pujian. Madihin yaitu puisi rakyat anonim bertipe
hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar. Penyampaian
syair-syair yang dibacakan oleh seniman madihin yang disebut Pamadihin.
Pamadihinan
termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik, karena para pengemban
profesinya harus melengkapi dirinya dengan tunjangan kekuatan supranatural yang
disebut Pulung. Pulung ini konon diberikan oleh seorang tokoh gaib yang tidak
kasat mata yang mereka sapa dengan sebutan hormat Datu Madihin. Datu Madihin
yang menjadi sumber asal-usul Pulung diyakini sebagai seorang tokoh mistis yang
bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari. Datu Madihin diyakini sebagai orang
pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal keberadaan Madihin di
kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Kesenian
madihin pada umumnya dipergelarkan pada malam hari, lamanya sekitar 2 sampai 3
jam ditempatkan diarena terbuka. Seniman pamadihin ini terdiri dari 1 samapai 4
orang pria atau wanita. Seorang pamadihin harus memiliki keterampilan memukul
terbang sesuai dengan penyajian syair-syair yang dibacakan, madihin ini temanya
saling sindir menyindir antara pamadihinnya.
Palui merupakan salah satu tokoh cerita rakyat klimantan tengah yang ketika itu secara administratif bergabung dengan bagian Kalimantan selatan namun dalam perkembangannya justru berkembang diwilayah Kalimantan selatan.
Penulisnya adalah seorang tokoh bernama Drs. H. Z Yustan Adzin kini almrhum yang mengangkat cerita khas, muncul setiap hari diharian Banjarmasin Post sejak awal terbitnya yaitu tahun 1971 dalam bahasa banjar dan berbagai logat bahasa banjar daerah seperti Banjar Kuala, Banjarmasin, Martapura, Pelaihari dan Banjar Hulu.
Cerita si Palui yang dipublikasikan pada harian Banjarmasin Post mengandung nilai budaya Banjar yang cukup beragam, tokoh Palui mencerminkan bagaimana dinamika dan perkembangan kehidupan orang Banjar.
Palui merupakan salah satu tokoh cerita rakyat klimantan tengah yang ketika itu secara administratif bergabung dengan bagian Kalimantan selatan namun dalam perkembangannya justru berkembang diwilayah Kalimantan selatan.
Penulisnya adalah seorang tokoh bernama Drs. H. Z Yustan Adzin kini almrhum yang mengangkat cerita khas, muncul setiap hari diharian Banjarmasin Post sejak awal terbitnya yaitu tahun 1971 dalam bahasa banjar dan berbagai logat bahasa banjar daerah seperti Banjar Kuala, Banjarmasin, Martapura, Pelaihari dan Banjar Hulu.
Cerita si Palui yang dipublikasikan pada harian Banjarmasin Post mengandung nilai budaya Banjar yang cukup beragam, tokoh Palui mencerminkan bagaimana dinamika dan perkembangan kehidupan orang Banjar.
BUDAYA MISTIS MALAM 1 SURO
Budaya Ritual Malam 1 Suro
Tradisi ini berbentuk kegiatan pendakian Gunung Sumbing, salah satu gunung
yang berada di Kabupaten Temanggung. Pendakian Gunung Sumbing bisa dilakukan
kapan saja. Tetapi puncak keramaian terjadi pada malem selikuran. Ribuan
pendaki, yang dipandu para pecinta alam yang berpengalaman dari Sumbing Hiking
Club (SHC) Temanggung, serta dipantau para petugas terpadu di posko-posko
terdekat, mengawali ritualnya dari desa Pager Gunung, kecamatan Bulu.
Untuk pendakian di luar tradisi malem selikuran, perjalanan bisa dilakukan
tanpa harus dipandu petugas. Para pendaki umumnya start dari Desa Kledung (arah
barat laut), atau Kampung Butuh dan Selogowok di Kecamatan Tlogo Mulyo (timur
laut).
Bahkan, Gunung Sumbing juga bisa didaki dari kawasan di luar Kabupaten Temanggung. Yaitu arah barat laut dari Kampung Garung (1.543 m dpl) di desa Butuh, Kecamatan Kalijajar (Wonosobo), arah tenggara dari Kalegan (Kabupaten Magelang), dan arah barat daya dari Sapurun (Wonosobo).
Bahkan, Gunung Sumbing juga bisa didaki dari kawasan di luar Kabupaten Temanggung. Yaitu arah barat laut dari Kampung Garung (1.543 m dpl) di desa Butuh, Kecamatan Kalijajar (Wonosobo), arah tenggara dari Kalegan (Kabupaten Magelang), dan arah barat daya dari Sapurun (Wonosobo).
Apabila cuaca bagus, pendakian ke puncak menempuh waktu sekitar lima jam.
Sebagian dari mereka berziarah kemakam Ki Ageng Makukuhan di Puncak Sumbing. Ki
Ageng Makukuhan diyakini sebagai orang pertama yang singgah di Kedu dan
memperkenalkan tanaman tembakau. Ada beberapa pos yang harus dilalui dari base
camp hingga ke puncak, yaitu pos I (1.750 m dpl), pos II (2.000 m dpl), pos
bayangan (2.500 m dpl), dan bagian puncak (2.850-3.340 m dpl).
DONGENG PUTRA SANGKURIANG
Dongeng
Sangkuriang
Pada
jaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat bernama
Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang.
Anak tersebut sangat gemar berburu Ia berburu dengan ditemani oleh Tumang,
anjing kesayangan istana. Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing itu adalah
titisan dewa dan juga bapaknya.
Pada
suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan buruan.
Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan. Ketika kembali ke istana,
Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan main marahnya Dayang
Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia memukul kepala Sangkuriang
dengan sendok nasi yang dipegangnya. Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan
pergi mengembara.
Setelah
kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu berdoa dan
sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah hadiah. Ia
akan selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi. Setelah bertahun-tahun
mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke tanah airnya.
Sesampainya disana, kerajaan itu sudah berubah total. Disana dijumpainya
seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang Sumbi. Terpesona oleh
kecantikan wanita tersebut maka, Sangkuriang melamarnya. Oleh karena pemuda itu
sangat tampan, Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya.
Pada
suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang Sumbi
untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi ketika
melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu persis seperti luka
anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah
pemuda itu sangat mirip dengan wajah anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan. Maka
kemudian ia mencari daya upaya untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia
mengajukan dua buah syarat. Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung
sungai Citarum. Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar
untuk menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi sebelum
fajar menyingsing.
Malam
itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan
mahluk-mahluk gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang Sumbi pun
diam-diam mengintip pekerjaan tersebut. Begitu pekerjaan itu hampir selesai,
Dayang Sumbi memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutra merah di
sebelah timur kota. Ketika menyaksikan warna memerah di timur kota, Sangkuriang
mengira hari sudah menjelang pagi. Ia pun menghentikan pekerjaannya. Ia sangat
marah oleh karena itu berarti ia tidak dapat memenuhi syarat yang diminta
Dayang Sumbi.
Dengan
kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar
melanda seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar yang dibuatnya.
Sampan itu melayang dan jatuh menjadi sebuah gunung yang bernama “Tangkuban
Perahu.”
Langganan:
Postingan (Atom)