DONGENG BURUNG CENDERAWASIH
Di daerah Fak-fak
tepatnya, pegunungan Bumberi hiduplah seorang perempuan tua bersama seekor
anjing betina. Perempuan tua bersama anjing itu mendapatkan makanan dari hutan
berupa buah-buahan dan kuskus. Hutan adalah ibu mereka yang menyediakan makanan
untuk hidup. Mereka berdua hidup bebas dan bahagia di alam.
Suatu ketika,
seperti biasanya mereka berdua ke hutan untuk mencari makan. Perjalanan yang
cukup memakan waktu belum juga mendapatkan makanan. Anjing itu merasa lelah
karena kehabisan tenaga. Pada keadaan yang demikian tibalah mereka berdua pada
suatu tempat yang ditumbuhi pohon pandan yang penuh dengan buah. Perempuan tua
itu serta merta memungut buah itu dan menyuguhkannya kepada anjing betina yang
sedang kelaparan. Dengan senang hati, anjing betina itu melahap suguhan segar
itu. Anjing betina itu merasa segar dan kenyang.
Namun, anjing itu
mulai merasakan hal-hal aneh di perutnya. Perut anjing itu mulai membesar.
Perempuan tua itu memastikan bahwa, ternyata sahabatnya (anjing betina) itu
hamil. Tidak lama kemudian lahirlah seekor anak anjing. Melihat keanehan itu,
si perempuan tua itu segera memungut buah pandan untuk dimakannya, lalu
mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh sahabatnya. Perempuan tua itu
melahirkan seorang anak laki-laki. Keduanya lalu memelihara mereka
masing-masing dengan penuh kasih sayang. Anak laki-laki diberi nama: Kweiya.
Setelah Kweiya
menjadi besar dan dewasa, dia mulai membuka hutan dan membuat kebun untuk
menanam makanan dan sayuran. Alat yang dipakai untuk menebang pohon hanyalah
sebuah pahat (bentuk kapak batu). Karenannya, Kweiya hanya dapat menebang satu
pohon setiap harinya. Ibunya ikut membantu dengan membakar daun-daun dari pohon
yang telah rebah untuk membersihkan tempat itu sehingga asap tebal mengepul ke
langit. Setiap kali, hutan lebat itu dihiasi dengan kepulan asap tebal yang
membumbung tinggi. Keduanya tidak menyadari bahwa mereka telah menarik
perhatian orang dengan mengadakan kepulan asap itu.
Konon ada seorang
pria tua yang sedang mengail di tengah laut terpaku melihat suatu tiang asap
yang mengepul tinggi ke langit seolah-olah menghubungi hutan belantara dengan
langit. Dia tertegun memikirkan bagaimana dan siapakah gerangan pembuat asap
misterius itu. Karena perasaan ingin tahu mendorongnya untuk pergi mencari
tempat di mana asap itu terjadi. Lalu ia pun segera menyiapkan diri dengan
bekal secukupnya dan dengan bersenjatakan sebuah kapak besi, ia pun segera berangkat.
Pria itu berangkat bersama seekor kuskus yang dipeliharanya sejak lama.
Perjalanannya ternyata cukup memakan waktu. Setelah seminggu berjalan kaki,
akhirnya ia mencapai tempat di mana asap itu terjadi.
Setibannya di tempat
itu, ternyata yang ditemui adalah seorang pria tampan membanting tulang
menebang pohon di bawah terik panas matahari dengan menggunakan sebuah kapak
batu berbentuk pahat. Melihat itu, ia menghampiri lalu memberi salam: “weing
weinggiha pohi” (artinya selamat siang) sambil memberikan kapak besi kepada
Kweiya untuk menebang pohon-pohon di hutan rimba itu. Sejak itu pohon-pohonpun
berjatuhan bertubi-tubi. Ibu Kweiya yang beristerahat di pondoknya menjadi
heran. Ia menanyakan hal itu kepada Kweiya, dengan alat apa ia menebang pohon
itu sehingga dapat rebah dengan begitu cepat.
Kweiya nampaknya
ingin merahasiakan tamu baru yang datang itu. Kemudian ia menjawab bahwa
kebetulan pada hari itu satu tangannya terlalu ringan untuk dapat menebang
begitu banyak pohon dalam waktu yang sangat singkat. Ibunya yang belum sempat
melihat pria itu percaya bahwa apa yang diceritakan oleh anaknya Kweiya memang
benar. Dan karena Kweiya minta disiapkan makanan, ibunya segera menyiapkan
makanan sebanyak mungkin. Setelah makanan siap dipanggilnya Kweiya untuk pulang
makan. Kweiya bermaksud mengajak pria tadi untuk ikut makan ke rumah mereka
dengan maksud memperkenalkannya kepada ibunya sehingga dapat diterima sebagai
teman hidupnya.
Dalam perjalanan
menuju rumah Kweiya memotong sejumlah tebu yang lengkap dengan daunnya untuk
membungkus pria tua itu. Lalu setibanya di dekat rumah, Kweiya meletakkan,
“bungkusan tebu” itu di luar rumah. Sewaktu ada dalam rumah Kweiya berbuat
seolah-olah haus dan memohon kepada ibunya untuk mengambilkan sebatang tebu
untuk di makannya sebagai penawar dahaga. Ibunya memenuhi permintaan anaknya
lalu keluar hendak mengambil sebatang tebu. Tetapi ketika ibunya membuka
bungkusaan tebu tadi, terkejutlah ia karena melihat seorang pria yang berada di
dalam bungkusan itu. Serta-merta ibunya menjerit ketakutan, tetapi Kweiya
berusaha menenangkannya sambil menjelaskan bahwa dialah yang mengakali ibunya
dengan cara itu. Harapan agar ibunya mau menerima pria tersebut sebagai teman
hidupnya, karena pria itu telah berbuat baik terhadap mereka. Ia telah
memberikan sebuah kapak yang sangat berguna dalam hidup mereka nanti. Sang ibu
serta merta menerima baik pikiran anaknya itu dan sejak itu mereka bertiga
tinggal bersama-sama.
Setelah beberapa
waktu lahirlah beberapa anak di tengah-tengah keluarga kecil tadi, dan kedua
orang tua itu menganggap Kweiya sebagai anak sulung mereka. Sedang anak-anak
yang lahir kemudian dianggap sebagai adik-adik kandung dari Kweiya. Namun dalam
perkembangan selanjutnya dari hari ke hari hubungan persaudaraan antara mereka
semakin memburuk karena adik-adik tiri dari Kweiya merasa iri terhadap Kweiya
Pada suatu hari,
sewaktu orang tua mereka sedang mencari ikan, kedua adiknya bersepakat
mengeroyok Kweiya serta mengiris tubuhnya sehingga luka-luka. Karena merasa
kesal atas tindakan kedua adiknya itu, Kweiya menyembunyikan diri di salah satu
sudut rumah sambil meminta tali dari kulit pohon “Pogak nggein” (genemo)
sebanyak mungkin. Sewaktu kedua orang tua mereka pulang ditanyakan di mana
Kweiya tetapi kedua adik tirinya tidak berani menceritakan di mana Kweiya
berada. Lalu adik bungsu mereka, yaitu seorang anak perempuan yang sempat
menyaksikan peristiwa perkelahian itu menceritakannya kepada kedua orang tua
mereka. Mendengar cerita itu si ibu tua merasa ibah terhadap anak kandungnya.
Ia berusaha memanggil-manggil Kweiya agar datang. Tetapi yang datang bukannya
Kweiya melainkan suara yang berbunyi: “Eek..ek, ek, ek, ek!” sambil menyahut,
Kweiya menyisipkan benang pintalannya pada kakinya lalu meloncat-loncak di atas
bubungan rumah dan seterusnya berpindah ke atas salah satu dahan pohon di dekat
rumah mereka.
Ibunya yang melihat
keadaan itu lalu menangis tersedu-sedu sambil bertanya-tanya apakah ada bagian
untuknya. Kweiya yang telah berubah diri menjadi burung ajaib itu menyahut
bahwa, bagian untuk ibunya ada dan disisipkan pada koba-koba (payung tikar)
yang terletak di sudut rumah. Ibu tua itu lalu segera mencari koba-koba
kemudian benang pintalan itu disisipkan pada ketiaknya lalu menyusul anaknya
Kweiya ke atas dahan sebuah pohon yang tinggi di hutan rumah mereka. Keduanya
bertengger di atas pohon sambil berkicau dengan suara: wong, wong, wong, wong,
ko,ko, ko, wo-wik!!
Dan sejak saat
itulah burung cenderawasih muncul di permukaan bumi di mana terdapat perbedaan
antara burung cenderawsih jantan dan betina. Burung cenderawasih yang buluhnya
panjang di sebut siangga sedangkan burung cenderawasih betina disebut: hanggam
tombor yang berarti perempuan atau betina. Keduanya dalam bahasa Iha di daerah
Onin, Fak-fak.
Adik-adik Kweiya
yang menyaksikan peristiwa ajaib itu meresa menyesal lalu saling menuduh siapa
yang salah sehingga ditinggalkan ibu dan kakak mereka. Akhirnya mereka saling
melempari satu sama lain dengan abu tungku perapian sehingga wajah mereka ada
yang menjadi kelabu hitam, ada yang abu-abu dan ada juga yang merah-merah, lalu
mereka pun berubah menjadi burung-burung. Mereka terbang meninggalkan rumah
mereka menuju ke hutan rimba dengan warnanya masing-masing. Sejak itu hutan
dipenuhi oleh aneka burung yang umumnya kurang menarik di bandingkan
cenderawasih.
Ayah mereka
memanggil Kweiya dan istrinya dan menyuruh mengganti warna buluh, namun mereka
tidak mau. Ayah mereka khawatir buluh yang indah itu justru mendatangkan mala
petaka bagi mereka. Dia berpikir suatu ketika orang akan memburuh mereka
termasuk ketiga anaknya yang lain. Ayah merasa kecewa kerena mereka tidak
mengindahkan permintaan mereka untuk berubah buluh. Kini Ayahnya kesepian dan
sedih, ia melipat kedua kaki lalu, menjemburkan dirinya ke dalam laut dan
menjadi penguasa laut “Katdundur”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar