DONGENG SUMBER AIR BARU KLINTING
Alkisah di
jaman dahulu kala, di Pulau Majeti ada seorang pertapa bernama Sang Aji Saka,
dengan didampingi empat orang sahabatnya yaitu bernama: Dugo, Dora, Prayoga,
Sembada. Terdorong oleh keinginan yang membara Sang Aji Saka ingin pergi ke
pulau Angejawi (Jawa) dengan diikuti tiga sahabatnya Dugo, Prayoga dan
Dora. Sedangkan Sembada ditugaskan di pertapaan menunggu keris pusaka Sang Aji
Saka.
Pesan Sang Aji
Saka kepada Sembada: sepergi saya ke pulau Jawa, siapapun orangnya tidak boleh
mengambil keris pusaka, kecuali Sang Aji Saka sendiri. Dan Sembada teguh
memegang pesan dan janji sebagaimana yang diamanatkan oleh Sang Aji Saka. Perjalanan
Sang Aji Saka sampai di Pulau Jawa. Pada waktu itu keadaan di pulau Jawa sedang
terjadi malapetaka dan huru-hara, karma adanya seorang raja dari negara Medang
Kamolan yang berjejuluk Prabu Dewata Cengkar, yang tak henti-hentinya memakan
daging manusia laki-laki.
Sehingga
kehidupan masyarakat di pulau Jawa semakin gonjang-ganjing, dan masyarakatnya
banyak yang mengungsi ke hutan-hutan dan gunung-gunung untuk menyelamatkan jiwa
raganya.
Konon
perjalanan Sang Aji Saka sampai di Pulau Jawa dan sudah berada di Kerajaan
Medang Kamolan dan menginap di rumah seorang janda yang terkenal.
Kala itu Prabu
Dewata Cengkar dengan seluruh punggawanya sampai di rumah janda cantik. Dan
langsung rumah janda itu didobraknya. Perasaan janda sangat takut bukan
kepalang, jangan-jangan sudah tahu kalau Sang Aji Saka menginap di rumahnya
akan dimakannya. Kala itu Sang Aji Saka, maju perlahan-lahan dengan tenangnya
menemui Prabu Dewata Cengkar dan menyambutnya dengan salam kehormatan. Seketika
itu pula Prabu Dewata Cengkar dengan suara gemuruh menyuruhnya Sang Aji Saka
untuk pulang ke Pulau Majeti, bila tidak mau pulang akan dimakan hari ini juga.
Ternyata Sang Aji Saka tidak mau pulang dan siap menerima untuk dimakan oleh
Prabu Dewata Cengkar.
Dengan muram
Prabu Dewata Cengkar melihat Aji Saka langsung pulang ke Istana Negara Medang
Kamolan, dan para prajurit serta hulubalang segera menangkap Aji Saka untuk
dibawa ke Medang Kamolan untuk diproses kematiannya. Sebelum Aji Saka
dimakannya, terlebih dahulu diberinya kesempatan, Aji Saka untuk
menyampaikan sesuatu, karena Prabu Dewata Cengkar masih menghormati bahwa
Aji Saka adalah seorang pertapa. Sang Aji Saka hanya meminta secuil tanah
seluas destar (udeng) yang dipakai Aji Saka.
Jawab Sang
Prabu dengan kerasnya: “Untuk apa secuil tanah tersebut?”. Jawab Aji Saka:
“Akan dibuatnya lobang, yang nantinya untuk menimbun tulang-tulang yang
tersisa” . Permintaan Aji Saka, tanah yang seluas destar itu harus berada di
halaman alun-alun kerajaan yang berdekatan dengan pesisir lautan.
Keesokan
harinya sekitar pukul 06.00 diadakan upacara kehormatan atas terkabulnya
permintaan Aji Saka. Kala itu Aji Saka melepas destarnya dan diletakkan di
halaman alun-alun, sedangkan Prabu Dewata Cengkar tidak boleh menyentuh destar
tersebut. Aneh dan ajaibnya setelah destar diletakkan di alun-alun, destar
tersebut semakin meluas dan melebar dan semakin berkembang. Apa yang hendak
dikata, melebar dan meluasnya ‘Destar/Udengnya Sang Aji Saka’, Prabu Dewata
Cengkar semakin terdesak oleh destar tersebut, sehingga seluruh tubuh Prabu
Dewata Cengkar tercebur ke dalam samudra selatan atau Segara Kidul. Eloknya
keadaan tubuh sang prabu dewata cengkar berubah menjadi “Seekor Buaya Putih”,
orang jawa menyebut “Bajul Putih”, dan menyatu dengan buaya-buaya putih
yang jumlahnya ribuan. Dan Buaya Putih Prabu Dewata Cengkar diangkat menjadi
rajanya.
Dulu menjadi
raja manusia, sekarang menjadi raja buaya, kala itu Sang Aji Saka hanya
termenung melihat kejadian alam di dalam samudra kidul. Sewaktu Sang Aji Saka
berjalan-jalan dipinggir pantai segara kidul di sebelah alun-alun Kerajaan
Medang Kamolan, tanpa ada tanda-tanda, menyeranglah Bajul Putih dengan
dahsyatnya dan terjadilah peperangan hebat dengan Aji Saka.
Bajul Putih
merasa tidak dapat mengimbangi kekuatan sang Aji Saka, segera seluruh bajul
putih yang ribuan jumlahnya untuk mengeroyok Sang Saka. Seluruh buaya dapat
dikalahkan dengan sekejap, yang masih hidup karena ketakutan banyak yang masuk
ke dalam samudra kembali. Buaya-buaya putih yang sudah berbangkai ditumpuk sepanjang
pantai dan diberinya nama Gunung Kapur Selatan. Kemenangan Sang Aji Saka
menjadi kebanggaan seluruh rakyat Medang Kamolan, rakyat yang dulu takut dan
sedih kini menjadi gembira dan merasa aman. Rakyat yang berlindung di
hutan-hutan dan di gunung-gunung kini pulang ke kampung halamannya dan bertemu
dengan sanak keluarganya. Dan Sang Aji Saka dinobatkan menjadi raja di Negara
Medang Kamolan.
Gelar yang
diberikan adalah “SANG MAHA PRABU AJI SAKA” Prabu Aji Saka memerintah dengan
arif bijaksana, hambeg para amarta, dilengkapi dengan sabda pandita raja dan
teguh memegang pusaraning keadilan. Damailah rakyat Medang Kamolan. Tepat pada
hari Respati manis Sang Prabu Aji Saka menggelar Pasewakan agung yang dihadiri
lengkap para menteri bupati dan brahmana serta senapati perang kerajaan
Medang Kamolan. Tak ketinggalan pula sahabat kinasihnya yaitu Duga, Prayoga,
dan Dora. Setelah memberikan ajaran-ajaran dan petunjuk kesegenap yang hadir di
Pasewakan, Sang Prabu Aji Saka memerintahkan kepada Dora untuk berangkat ke
Majeti untuk mengambil keris pusaka di pertapaan untuk dibawa pulang ke Medang
Kamolan sebagai pusaka kerajaan. Tanpa meniawab sepatahpun, Dora mohon pamit
dan langsung berangkat ke Majeti untuk menemui sahabatnya Sembada.
Sesampainya di
pulau Majeti, Dora bertemu dengan Sembada yang sudah sudah lama berpisah dan
kala itu juga saling melepas rasa kerinduannya. Selanjutnya Dora
menyampaikan seluruh pesan Sang Prabu Aji Saka tanpa ada yang tertinggal,
terutama tentang tugasnya untuk mengambil keris di pertapaan. Sembada merasa
kaget mendengar keris akan diambil oleh Dora karena sepengetahuannya Sang Aji
Saka sendirilah yang akan mengambil keris tersebut. Maka bersikukuhlah
Sembada tidak akan memberikan keris kepada Dora. Terjadilah pertengkaran mulut
diantara keduanya dan berlanjut pada pertempuran fisik. Akhirnya mereka berdua
mati bersama dalam pertempuran sengit tersebut. Kematian ini oleh orang jawa
disebut sebagai “‘mati sampyuh “.
Suasana alam
perti berkabung, matahari tidak mengeluarkan sinar dibarengi dengan hujan
gerimis kecil putih-putih. Kala itu juga Sang Aji Saka keluar dari istana,
menatap langit, samodra kidul dan memanggil para brahmana untuk bersantiaji
Keprabon. Di malam harinya Sang Prabu Aji Saka mendapat ilham Ha, Na, Ca, Ra,
Da, Ta, Sa, Wa, La, Pa, Dha, Ja, Va, Nya, Ma, Ga, Ba, Tha, Nga, Sampai sekarang
di jaman modern seperti sekarang ini, kita orang Jawa harus selalu berfilsafat
dengan ajaran: Ha, Na, Ca, Ra, Ka, dst … yang berarti, apakah yang kita ketahui
tentang Ha,Na,Ca … dst sebagai konsep atau idea ajaran kearifan orang jawa yang
bersumber dari karya susastra jawa yang berlandaskan dengan keluhuran Cipta,
Rasa, Karsa, Budi, Karya yang menjelma kedalam konsep pakarti berketahanan
“Budaya Bangsa”. Sehingga orang suku Jawa yang rnenyebar di seluruh pelosok
tanah air jangan sampai meninggalkan warisan leluhurnya.
Setelah sang
prabu membeberkan tentang ilham tersebut ke seluruh yang hadir di pasewakan,
sang maha prabu mengajak seluruh punggawa kerajaan untuk berinkognito (turba)
atau turun ke desa-desa. Dengan warna baru sang prabu melihat kerajaan Mendang
Kamolan yang ternyata keadaan negaranya “panjang punjung, pasir wukir, gemah
ripah loh jinawi, karta tata tur raharja”. Matahari terus bergulir menuju
kodrati-Nya hari semakin sore, setelah istirahat sejenak, di kala itu segera
Sang Prabu Aji Saka memerintahkan ke segenap yang ada di situasi itu untuk
membuat tenda-tenda alami (bivoac) yang terbuat dari daun-daun, dan dari
kayu yang alami untuk beristirahat untuk persiapan tenaga di esok harinya. Saat
para hulubalang beristirahat total, di sore harinya Sang Prabu Aji Saka
berkelana seorang diri sambil menikmati udara sore menatap cakrawala yang
terselubung mendung tipis serta ditutupi kabut gerimis seperti salju semakin
meresap ke sumsum tulang.
Sambil
menikmati keindahan alam di Negara Medang Kamolan sampailah posisi Sang Prabu
Aji Saka di desa yang paling terpencil hampir berdekatan di pinggir hutan,
sayup-sayup terdengar lantunan lesung yang jumengglung yang kadang kala
diiringi bertenggernya ayam jantan. Hati Sang Prabu semakin penasaran ingin
mencari dimana tempat suara itu berada. Ternyata dilihatnya bahwa lesung itu
ternyata seorang wanita cantik sedang menumbuk padi di gubuk belakang rumahnya,
yang didampingi seekor ayam jantan. Sang Prabu Aji Saka semakin mendekat dan
diintainya wanita penumbuk padi itu dari sela-sela lobang dinding bambu yang
sudah setengah reot itu.
Dengan asyiknya
wanita cantik itu menumbuk padi dan secara diam-diam Sang Prabhu Aji Saka
melihat dan mengamati dari dekat wanita tersebut dan ternyata wanita ini
memiliki kecantikan yang luar biasa bagaikan dewi dari kahyangan. Begitu
sang Prabhu Aji Saka melihat kecantikan wanita ini, maka munculah perasaan
cinta yang tidak bisa tertahankan, dan pada akhirnya secara tidak sengaja Sang
Prabhu Aji Saka mengeluarkan cairan dari tubuhnya yang membasahi tanah
setempat.
Sang Prabu Aji
Saka perlahan-lahan beranjak dari tempatnya berada, sambil melangkah dengan
perasaan berat untuk meninggalkan tempat itu, kemudian sang prabu memberi kode
aji saka yang digoreskan pada dinding bambu. Dan meninggalkan tempat tersebut,
sebagai kenangan tempat wanita cantik yang menumbuk padi.
Sepeninggal
Sang Aji Saka dari tempat itu, wanita cantik penumbuk padi tidak mengetahui
kejadian di lingkungan lesung tersebut, kecuali si ayam jagonya yang
menggodanya, maka dipukullah ayam jago itu dengan tangkai padi oleh sang prabu,
sambil melompat setengah terbang si ayam jago bersuara keeoooook, jatuh tepat
di tempat Sang Prabhu Aji Saka sewaktu mengintip wanita cantik penumbuk padi.
Anehnya si ayam jago melihat sebutir putih seperti beras itu lalu
dipatuknya kemudian ditelannya dan kembali lagi ke lesung.
Dan disaat yang
bersamaan wanita cantik ini berkemas-kemas akan meninggalkan tempatnya menumbuk
padi. Sang putri masuk ke rumahnya dan langsung menuju ke pedharingan/genthong
tempat menyimpan beras, setelah selesai pergilah sang putri ke sumur untuk
mandi, dan kala itu bersamaan si ayam jago masuk ke dalam kandang, memang waktu
itu hari sudah masuk ke saat senja menjelang malam.
Matahari sudah
masuk ke cakrawala dan malam telah mengganti suasana waktu. Dengan bergesernya
waktu, kala semakin malam sang putri mulai tidur, namun tidak dapat memejamkan
mata (tidur-tidur ayam) entah apa yang terjadi sepertinya ada sesuatu yang
tidak dapat diterjemahkan. Semakin gaduh perasaan sang putri terdengarlah
bertenggernya si ayam jago yang melengkapi semakin risaunya emosi sang putri.
Si ayam jago semakin berulang-ulang bertengger dan terdengarlah bertenggernya si
ayam jago dengan suara ngungkung lenturan panjang sepertinya dengan
disertai seluruh tenaganya.
Dengan perasaan
semakin gusar bangunlah sang putri dari tempat tidurnya dan keluar
mengambil segenggam daun kelapa kering dan disulutnya ujung daun kelapa itu.
Perlahan sang putri menuju kandang ayam jagonya, ternyata si jago tidak lagi
berada pada tempat pagakan/pangkringannya tetapi berada di tanah dengan keadaan
“Ndekem”. Terkejut hati sang putri lalu di ambilnya si ayam jago dan diletakkan
di pagakan tempat tidurnya. Anehnya selesainya sang putri meletakkan kembali si
jago ke pagakan, ternyata tempat ndekemnya si ayam jago tadi ada sebutir
telur putih besar lonjong sebesar telur angsa.
Dengan hati
senang campur iba, aneh tapi nyata. Unik dan menarik dibawanva telur pulang dan
dimasukkan ke dalam genthong tempat menyimpan beras. Tujuh hari kemudian, saat
sang putri mengambil beras untuk ditanak, tangan sang putri menyentuh sesuatu
dan sang putri tanpa rasa takut sama sekali, malah dibelai dengan mesranya. Dengan
perasaan iba sang putri melihatnya, ternyata seekor ular sowo kembang yang
berbau wangi, dengan rasa cinta diambilnya ular itu di pinang dan dibawa ke
tempat tidurnya. Sang putripun tidak jadi untuk menanak nasi, seolah sudah
merasa kenyang. Di manja, dipeluk, dan diciumnya, si sowo kembang dengan tak
henti-hentinya seolah seperti sang bayi yang baru lahir dari kandungan sang
putri.
Di pagi hari si
sowo kembang, ingin keluar untuk melihat suasana dan diikuti oleh sang putri
sebagai pengganti ibunya. Sampailah sowo kembang di tempat lesung dan
bermain-main seolah-olah ada sesuatu bagi dirinya. Kala itu sowo kembang tidak
mau pindah dari dinding reot, dan di tempat itulah si sowo kembang dapat
berbicara layaknya manusia, dan bertanyalah si sowo kembang kepada sang putri.
Semula mau melontarkan pertanyaan ini agak termangu-mangu, tetapi terdorong
rasa yang kuat akhirnya terlontarlah sebuah pertanyaan dengan nada yang datar,
“Sang putri, siapakah sebenarnya ayahku ini?”. Dengan menoleh ke dinding reot
itu sang putri menjawab, wahai ular sawo kembang yang perkasa, ayahmu adalah
seorang pertapa agung, di gunung urung-urung yang bernama AJI SAKA, yang
sebenarnya petapa dan juga adalah seorang raja. Dengan tanpa dipikir panjang si
sowo kembang langsung mohon doa restu untuk menuju ke gunung urung-urung
seketika di lingkungan pertapaan berbau wangi, dan terkejut hati sang Aji Saka.
Dengan tanpa
menunggu waktu lama datanglah si sowo kembang menghadap sang maha muni, dengan
menghaturkan sembah sungkem, bersamaan itu pula keluarlah suara bernada geram
Sang Aji Saka, “Siapakah kamu ini?”. Jawab Sowo Kembang: “Saya diperintah oleh
ibu penumbuk padi untuk datang kesini, sebab sang pertapa adalah ayahku”.
Mendengar putri penumbuk padi terkejutlah sang Aji Saka dan teringat
terhadap peristiwa lamanya. Jadi kedatanganmu kesini sebenarnya mau apa?
Kedatangan saya kesini adalah:
1.
Dengan hormat, Sang Pertapa untuk memberiku sebuah nama,
agar aku senang dengan nama itu.
2.
Sang Pertapa berkenan untuk mengakui bahwa hamba adalah
keturunan dari sang maha muni.
Sang Aji Saka
memegang leher sowo kembang dan dikalungkannya sebuah klinthing dan diberilah
nama “NAGA BARU KLINTHING”, dan bersabdalah sang wiku “asma kinarya japa”. Dan
si Naga Baru Klinthing akan diakui sebagai anak apabila tubuhnya dapat
melingkari gunung urung-urung ini dengan tuntas, artinya kepala dan ekornya
dapat bertemu menjadi satu (jawa: tepung gelang). Dengan bangga berangkatlah
Naga Baru Klinthing setelah mohon doa restu untuk melingkari gunung urung-urung
tersebut. Dengan penuh perjuangan untuk melingkari gunung urung-urung ternyata setelah
di depan Sang Aji Saka bertapa ternyata Naga Baru Klinthing tidak dapat
mempertemukan antara ekor dan kepalanya. Dengan cerdiknya Naga Baru Klinthing
menjulurkan lidahnya dan ternyata dapat berhasil. tapi apa yang terjadi. begitu
Sang Aji Saka melihatnya, seketika diambilnya keris yang ampuh langsung
dipenggalah lidah si Naga Baru Klinthing dan putus seketika.
Potongan lidah
Naga Baru Klinthing melesat ke angkasa dan suara alam mengiringi dengan tanda
gaib yang mengerikan. Naga Baru Klinthing setelah terpenggal lidahnya, tubuhnya
bergerak di dalam tanah di sekitar gunung urung-urung yang akhirnya tanah
menjadi gundhukan (bukit kecil) dan langsung di malam itu diiringi oleh suara
halilintar serta kilat thathit yang mengerikan, bersamaan suara guruh di
angkasa yang mencekam, dari jauh suara gelombang tsunami samudra yang seolah
menggulung jagad. Sirepnya suara alam yang mengerikan tadi, hadirlah “MANUSIA
BAJANG” , (jawa bocah bajang, bocah kerdil) akan berkelana di sekitar desa.
Konon
masyarakat desa tersebut akan merayakan hari bersih dusun, dan beramai-ramailah
masyarakat dusun untuk membersihkan halaman rumah dan lorong-lorong jalan,
serta lingkungan gundhukan tanah yang dekat dengan jalan itupun diratakan
agar tidak menutupi jalan. Saat seorang pekerja yang menebang kayu di sekitar
gunung urung-urung, memecok akar kayu keluarlah darah yang memancar, dan
terkejutlah orang-orang di dekatnya. Kala itu membuat penasaran seluruh
orang-orang yang bekerja gotong royong tersebut. Dan dibongkarlah seluruh gundhukan
tanah yang melingkar, ternyata daging binatang besar.
Tidak berpikir
panjang di potong-potonglah daging tersebut untuk dibawa ke rumah masing-masing
persiapan untuk pesta di hari bersih dusun. Masyarakat sangat senang hatinya
karena diacara bersih dusun kali ini, lauk pauknya dengan serentak menggunakan
daging. Di saat masyarakat memasak daging didatangi oleh manusia bajang, dari
rumah ke rumah, yang dengan sengaja meminta makan lengkap dengan lauk pauknya.
Ternyata tidak satu keluargapun yang mau memberi makan kepada si bocah bajang
tersebut, bahkan diusirnya. Berjalan dengan tenanglah bocah bajang dari rumah
ke rumah, dan sampailah ke rumah yang berada di sudut desa terpencil tepatnya
di pinggir desa di sela-sela hutan kecil dan rawa-rawa. Dialah si janda tua
renta, dalam gubuk kecil yang rajin dan bersih dipagari dengan bunga-bunga
indah juga terhiasi oleh kukusnya dupa sesaji. Janda tua sedang memasak daging
yang nantinya akan dibawa untuk bersih dusun, datanglah bocah bajang meminta
makan lengkap dengan lauk pauknya.
Dengan lahapnya
nasi dihabiskan, tak sepotong dagingpun ada yang dimakannya, dan ditinggalkan
di dalam piring sambil berpesan, bersiap-siaplah sang nenek dengan enthong yang
bertangkai panjang serta lesung yang nanti akan besar manfaatnya. Bersama kata
akhir itu menghilanglah si bocah bajang tersebut. Si nenek tua merenung
sebentar, sebenarnya si nenek adalah wanita ahli bersemedi, langsung mohon
kepada Yang Maha Kuasa agar diberinya perlindungan. Di waktu itu malam sudah
berlalu, di pagi harinya seluruh masyarakat mulai berkumpul di balai dusun
untuk melaksanakan upacara bersih dusun, lengkap dengan sesaji, makanan serta
pauk pauknya.
Dikala ujub
kenduri sedang berlangsung, datanglah si bocah bajang dengan suara lantang
“Hentikan dulu ujub kenduri ini”, sebab akan diberinya sebuah sayembara untuk
memeriahkan acara bersih dusun tersebut. Sayembaranya adalah: “barang siapa
yang dapat mencabut lidi yang saya tancapkan di halaman balai dusun ini, saya
bersedia untuk dipotong-potong badannya, tetapi bila tidak dapat mencabutnya
seluruh masakan daging ini akan saya rampas semua tanpa terkecuali”.
Masyarakat yang
sedang melaksanakan kenduri bersih dusun menjadi berang dan marah mendengar
sayembara si bocah bajang tersebut. Keluarlah seluruh masyarakat yang sedang
berpesta pora ke halaman balai dusun, dan melingkari si bocah bajang berusaha
untuk mencabut lidi yang ditancapkannya. Setelah satu persatu mencabut, tak ada
yang berhasil juga. Akhirnya berkelompoklah masyarakat untuk mencabut lidi yang
tertancab. namun hasilnya pun sia-sia. Dengan serentak masyarakat menyuruhnya
si bocah bajang untuk segera mencabut lidi yang tertancap. Perasaan haru
bercampur gundah, dengan tangan kirinya lidi itu dipegangnya. Wajah menatap ke
langit, sambil mengucap doa pelan-pelan lidi itu dicabutnya. Tercabutlah lidi
itu, dan seketika keluarlah sumber air yang jernih mengalir kearah barat.
Seluruh masyarakat menjadi malu hati, karena melihat berhasilnya si bocah
bajang mencabut lidi itu. Akhirnya dikeroyoklah bocah bajang, dan larilah
perlahan meninggalkan halaman balai dusun. Semakin dikeroyok semakin banjir
pula sumber air tersebut. Dengan banjirnya air dari sumber mata air yang ajaib
ini, seolah “BANJIR BANDANG, DAN BANYAK MANUSIA YANG TENGGELAM”, menjadi
korban, yang masih hidup berteriak minta tolong. Kala itu pula si bocah bajang
menghilang dari permukaan, dan akan rnenyatu dengan lidah Naga Baru Klinthing
yang melesat ke angkasa, bersama itu pula hilangnya lauk pauk entah kemana.
Hanya janda tua yang tempo hari memberi makan kepada si bocah bajang yang
selamat karena menuruti pesannya untuk naik lesung dengan berdayung enthong
sambil menanti surutnya air bah.
Ternyata
setelah air banjir surut lesung berhenti di sebelah sumber mata air, dan si
nenek tua menamakan sumber mata air tersebut “SUMBER AIR BARU KLINTHING” dan terkenal sampai sekarang legendanya di Dusun Bunut,
Desa Bringin, Kecamatan Pare Kabupaten Kediri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar