DONGENG SEJARAH KOTA KUNINGAN
Kabupaten Kuningan, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat,Indonesia. Ibukotanya adalah Kuningan. Letak astronomis kabupaten ini di antara 108°23″ – 108°47″ Bujur
Timur dan 6°45″ – 7°13″ Lintang Selatan. Kabupaten ini terletak di bagian timur
Jawa Barat, berbatasan denganKabupaten Cirebon di utara, Kabupaten Brebes (Jawa Tengah) di timur,Kabupaten Ciamis di selatan, serta Kabupaten Majalengka di barat. Kabupaten Kuningan terdiri atas 32 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 361 desadan 15 kelurahan. Pusat pemerintahan di
Kecamatan Kuningan.
Bagian timur wilayah kabupaten ini adalah
dataran rendah, sedang di bagian barat berupa pegunungan, dengan puncaknya Gunung Ceremai (3.076 m) yang biasa salah kaprah disebut dengan Gunung
Ciremai, gunung ini berada di perbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Gunung Ceremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat.
Asal Mula Kabupaten Kuningan
Pertama kali diketahui Kerajaan Kuningan
diperintah oleh seorang raja bernama Sang Pandawa atau Sang Wiragati. Raja ini
memerintah sejaman dengan masa pemerintahan Sang Wretikandayun di Galuh
(612-702 M). Sang Pandawa mempunyai putera wanita bernama Sangkari. Tahun 617
Sangkari menikah dengan Demunawan, putra Danghyang Guru Sempakwaja, seorang
resiguru di Galunggung. Sangiyang Sempakwaja adalah putera tertua
Wretikandayun, raja pertama Galuh. Demunawan inilah yang disebutkan dalam
tradisi lisan masyarakat Kuningan memiliki ajian dangiang kuning dan menganut
agama sanghiyang.
Meskipun Kuningan merupakan kerajaan
kecil, namun kedudukannya cukup kuat dan kekuatan militernya cukup tangguh. Hal
itu terbukti dengan kekalahan yang diderita pasukan Sanjaya (Raja Galuh) ketika
menyerang Kuningan. Kedatangan Sanjaya beserta pasukannya atas permintaan
Dangiyang Guru Sempakwaja, besan Sang Pandawa dengan maksud untuk memberi
pelajaran terhadap Sanjaya yang bersikap pongah dan merasa diri paling kuat.
Sanjaya adalah cicit Sang Wretikandayun, melalui putranya Sang Mandiminyak yang
menggantikannya sebagai Raja Galuh (703-710) dan cucunya Sang Sena yang menjadi
raja berikutnya (710-717).
Di Kerajaan Galuh terjadi konflik
kepentingan, sehingga Resi Guru Sempakwaja mengambil keputusan. Diantaranya
menempatkan Sang Pandawa menjadi guru haji (resiguru) di layuwatang (sekarang
tempatnya di Desa Rajadanu Kecamatan Japara). Sedangkan kedudukan kerajaan
digantikan Demunawan dengan gelar Sanghiyangrang Kuku, tahun 723.
Masa pemerintahan Rahyangtang Kuku, diberitakan bahwa ibu
kota Kerajaan Kuningan ialah Saunggalah. Lokasinya diperkirakan berada di
sekitar Kampung Salia, sekarang termasuk Desa Ciherang Kecamatan Nusaherang.
Seluruh wilayahnya meliputi 13 wilayah diantaranya Galunggung, Layuwatang,
Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasesa, Kahirupan, Sumanjajah, Pasugihan,
Padurungan, Darongdong, Pegergunung, Muladarma dan Batutihang.
Tahun 1163-1175, Kerajaan Saunggalah
terungkap lagi setelah tidak ada catatan paska Demunawan. Saat itu tahta
kerajaan dipegang oleh Rakean Dharmasiksa, anak dari Prabu Dharmakusumah
(1157-1175) seorang raja Sunda yang berkedudukan di Kawali. Rakean Dharmasiksa
memerintah Saunggalah menggantikan mertuanya, karena ia menikah dengan putri
Saunggalah. Namun Rakean Dharmasiksa tidak lama kemudian menggantikan ayahnya
yang wafat tahun 1175 sebagai Raja Sunda. Sedangkan kerajaan Saunggalah
digantikan puteranya yang bernama Ragasuci atau Rajaputra. Sebagai penguasa
Saunggalah, Ragasuci dijuluki Rahyantang Saunggalah (1175-1298). Ia memperistri
Dara Puspa, putri seorang raja Melayu.
Tahun 1298, Ragasuci diangkat menjadi Raja
Sunda menggantikan ayahnya dengan gelar Prabu Ragasuci (1298-1304).
Kedudukannya di Saunggalah digantikan puteranya bernama Citraganda. Pada masa
kekuasaan Ragasuci, wilayah kekuasaannya bertambah meliputi Cipanglebakan,
Geger Gadung, Geger Handiwung, dan Pasir Taritih di Muara Cipager Jampang.
Masa Keadipatian
Berdasarkan tradisi lisan, sekitar abad 15
Masehi di daerah Kuningan sekarang dikenal dua lokasi yang mempunyai kegiatan
pemerintahan yaitu Luragung dan Kajene. Pusat pemerintahan Kajene terletak
sekarang di Desa Sidapurna Kecamatan Kuningan. saat itu, Luragung dan Kajene
bukan lagi sebuah kerajaan tapi merupakan buyut haden. Masa ini, dimulai dengan
tampilnya tokoh Arya Kamuning, Ki Gedeng Luragung dan kemudian Sang Adipati
Kuningan sebagai pemipun daerah Kajene, Luraugng dan kemudian Kuningan. Mereka
secara bertahap di bawah kekuasaan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Djati
(salah satu dari sembilan wali, juga penguasa Cirebon). Tokoh Adipati Kuningan
ada beberapa versi. Versi pertama Sang Adipati Kuningan itu adalah putera Ki
Gedeng Luragung (unsur lama). Tetapi kemudian dipungut anak oleh Sunan Gunung
Djati (unsur baru).
dia dititipkan oleh aya angkatnya kepada
Arya Kamuning untuk dibesarkan dan dididik. Kemudian menggantikan kedudukan
yang mendidiknya. Versi kedua, Sang Adipati Kuningan adalah putera Ratu
Selawati, keturunan Prabu Siliwangi (unsur lama), dari pernikahannya dengan
Syekh Maulanan Arifin (unsur baru). Disini jelas terjadi kearifan sejarah.
Berdasarkan Buku Pangaeran Wangsakerta
yang ditulis abad ke 17, Sang Adipati Kuningan yang berkelanjutan penjelasanya
adalah berita yang menyebutkan tokoh ini dikaitkan dengan Ratu Selawati. Bahwa
agama Islam menyebar ke Kuningan berkat upaya Syek Maulana Akbar atau Syek
Bayanullah. Dia adalah adik Syekh Datuk Kahpi yang bermukim dan membuka
pesantren di kaki bukit Amparan Jati (sekarang Cirebon). Syekh Maulana Akbar
membukan pesantren pertama di Kuningan yaitu di Desa Sidapurna sekarang, ibu kota
Kajene. Ia menikah dengan Nyi Wandansari, putri Surayana. Ada pun Surayana
adalah putra Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana, Raja Sunda yang
berkedudukan di Kawali (1475-1482) yang menggantikan kedudukan ayahnya Prabu
Niskala Wastu Kancana atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi.
Dari pernikahan dengan Nyi Wandansari
berputra Maulana Arifin yang kemudian menikah dengan Ratu Selawati. Ratu
Selawati bersama kakak dan adiknya yaitu Bratawijaya dan Jayakarsa adalah cucu
Prabu Maharaja Niskala Wastu Kancana atau Prabu Siliwangi. Bratawijaya kemudian
memimpin di Kajene dengan gelar Arya Kamuning. Sedangkan Jayaraksa memimpin
masyarakat Luragung dengan gelar Ki Gedeng Luragung. Mereka bertiga, yakni Ratu
Selawati, Arya Kamuning (Bratawijaya), Ki Gedeng Luragung (Jayaraksa)
diIslamkan oleh uwaknya yakni Pangeran Walangsungsang. Adapun Sang Adipati
Kuningan yang sesungguhnya bernama Suranggajaya adalah anak dari Ki Gedeung
Luragung (namun hal itu masih merupakan babad peteng atau masa kegelapan yang
sampai saat ini tidak diketahui kebenarannya sesungguhnya anak siapa Sang
Adipati Kuningan).
Atas prakarsa Sunan Gunung Djati
dan istrinya yang berdarah Cina Ong Tin Nio yang sedang berkunjung ke Luragung,
Suranggajaya diangkat anak oleh mereka. Tetapi pemeliharaan dan pendidikannya
dititipkan pada Arya Kamuning. Sedangkan Arya Kamuning sendiri dikabarkan tidak
memiliki keturunan. Akhirnya Suranggajaya diangkat jadi adipati oleh Susuhunan
Djati (Sunan Gunung Djati) menggantikan bapak asuhnya. Penobatan
ini dilakukan pada tanggal 4 Syura (Muharam) Tahun 1498 Masehi. Penanggalan
tesebut bertempatan dengan tanggal 1 September 1498 Masehi. Sejak tahun 1978,
hari pelantikan Suranggajaya menjadi Adipati Kuningan itu ditetapkan sebagai
Hari Jadi Kuningan sampai sekarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar