DONGENG SEJARAH KOTA SEMARANG
Pada zaman dahulu akhir abad 15, hiduplah seorang pangeran bernama Raden
Made Pandan dari Kerajaan Demak. Raden Made Pandan juga dikenal sebagai seorang
ahli agama Islam atau ulama yang disegani oleh berbagai kalangan masyarakat.
Raden Made Pandan mempunyai putera bernama Raden Pandanarang. Raden Pandanarang
adalah anak yang baik, ramah, sopan santun, dan menghormati kedua orangtuanya.
Suatu ketika
Raden Pandanarang dan beberapa pengiring kerajaan diajak oleh Raden Made Pandan
pergi dari wilayah Kesultanan Demak.“Puteraku. Maukah kamu ikut pergi berkelana denganku? Besok kita akan meninggalkan wilayah Kesultanan Demak ini bersama-sama dengan beberapa pengiring kerajaan,” tanya Raden Made Pandan kepada puteranya.
“Hendak kemanakah, Ayahanda?” ujar Raden Pandanarang penasaran.
“Kita akan pergi menuju kearah barat. Di sana kita akan menyebarkan agama Islam. Konon, aku dengar tanah di daerah sana sangat subur. Persiapkanlah dirimu, Puteraku,” ujar Raden Made Pandan seraya menepuk pundak puteranya.
“Baiklah, Ayahanda.”
Mereka akhirnya pergi kearah barat. Hingga pada suatu hari, mereka sampai
di suatu daerah yang subur. Kemudian mereka membuka hutan dan mendirikan rumah
di daerah itu.
“Kita berhenti
di daerah sini saja. Segera perintahkan kepada para pengiring kerajaan untuk
membabat beberapa pohon di hutan ini, kemudian dirikan sebuah rumah untuk
tempat tinggal kita, puteraku,” perintah Raden Made Pandan dengan lantang.
Akhirnya Raden Made Pandan menyebarkan agama Islam di tempat itu dengan
mendirikan pondok pesantren. Pada awalnya, hanya pengiring dan pengikutnya saja
yang menjadi muridnya. Namun, semakin lama semakin banyak orang yang menjadi
muridnya dan menetap di daerah itu.
Suatu hari datang seorang pengiring kerajaan menghadap Raden Made Pandan.
“Gusti, di luar ada banyak penduduk yang datang. Mereka ingin belajar agama
Islam di pondok pesantren ini. Bagaimana ini, Gusti?”.
“Persilahkan
mereka masuk ke pondok ini. Aku akan menerimanya menjadi muridku dan kita akan
mendalami ajaran agama Islam bersama-sama,” ujar Raden Made Pandan.
Raden Made Pandan mengharapkan pada suatu saat nanti puteranya mampu
menggantikannya sebagai guru agama Islam di daerah itu. Raden Made berwasiat
kepada puteranya, Raden Pandanarang.
“Puteraku, jika
Ayah meninggal, maka teruskanlah perjuangan kita untuk menyebarkan agama Islam
di daerah ini. Bimbinglah umat dalam mengolah lahan pertanian. Tetaplah tinggal
di daerah ini. Dan selalu berpegang teguh kepada ajranan Para Wali. Insya’
Allah hidupmu kelak selamat dunia dan akhirat.”“Baiklah, Ayahanda,” jawab Raden Pandanarang dengan penuh hormat.
Raden Pandarang selalu mengingat pesan orangtuanya. Setelah Raen Made
Pandan meninggal dunia, Raden Pandanarang terus melanjutkan mengajar agama
Islam kepada masyarakat dan mengelola tempat itu sebaik-baiknya. Semakin hari
daerah itu semakin subur, hampir semua tanaman dapat tumbuh di daerah itu.
Banyak orang-orang lain dari luar daerah berdatangan dan menetap di daerah itu.
Murid dan pengikut Raden Pandanarang pun semakin banyak.
Suatu ketika, Raden Pandanarang melihat suatu hal yang janggal. Di daerah
yang subur, di antara pohon-pohon yang menghijau, tampak beberapa pohon asam
yang tumbuhnya saling berjauhan.
“Mengapa
pohon-pohon asam itu tumbuh berjauhan, padahal tanahnya di sini subur, kan?”
tanya Raden Pandanarang.“Iya, Raden …!” jawab beberapa orang pengikut.
“Ini memang suatu hal yang tidak lazim terjadi. Kalau begitu daerah ini akan ku namakan Semarang. Berasal dari kata asem yang jarang-jarang (asem kang arang-arang).”
Sebagai pendiri dan pembuka daerah Semarang yang pertama kali, maka Raden Pandanarang langsung diangkat sebagai pemimpin dan bergelar Ki Ageng Pananarang 1.
Demikian asal mula terjadinya kota Semarang yang sekarang ini adalah Ibukota Provinsi Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar