DONGENG DANAU SI LOSUNG DAN SI PINGGAN
Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Silahan, Tapanuli Utara, hiduplah
sepasang suami istri yang memiliki dua orang anak laki-laki. Yang sulung bernama Datu Dalu, sedangkan yang bungsu
bernama Sangmaima. Ayah mereka adalah seorang ahli pengobatan dan jago silat.
Sang Ayah ingin kedua anaknya itu mewarisi keahlian yang dimilikinya. Oleh
karena itu, ia sangat tekun mengajari mereka cara meramu obat dan bermain silat
sejak masih kecil, hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan
pandai mengobati berbagai macam penyakit.
Pada suatu hari,
ayah dan ibu mereka pergi ke hutan untuk mencari tumbuhan obat-obatan. Akan
tetapi saat hari sudah menjelang sore, sepasang suami istri itu belum juga
kembali. Akhirnya, Datu Dalu dan Sangmaima memutuskan untuk mencari kedua orang
tua mereka. Sesampainya di hutan, mereka menemukan kedua orang tua mereka telah
tewas diterkam harimau.
Dengan sekuat
tenaga, kedua abang adik itu membopong orang tua mereka pulang ke rumah. Usai
acara penguburan, ketika hendak membagi harta warisan yang ditinggalkan oleh
orang tua mereka, keduanya baru menyadari bahwa orang tua mereka tidak memiliki
harta benda, kecuali sebuah tombak pusaka. Menurut adat yang berlaku di daerah
itu, apabila orang tua meninggal, maka tombak pusaka jatuh kepada anak sulung.
Sesuai hukum adat tersebut, maka diberikanlah tombak pusaka itu epada Datu
Dalu.
Pada suatu hari,
Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi di hutan. Ia pun
meminta ijin kepada abangnya.
“Bang, bolehkah aku
pinjam tombak pusaka itu?”
“Untuk keperluan
apa, Dik?”
“Aku ingin berburu
babi hutan.”
“Aku bersedia
meminjamkan tombak itu, asalkan kamu sanggup menjaganya jangan sampai hilang.”
“Baiklah, Bang! Aku
akan merawat dan menjaganya dengan baik.”
Setelah itu,
berangkatlah Sangmaima ke hutan. Sesampainya di hutan, ia pun melihat seekor
babi hutan yang sedang berjalan melintas di depannya. Tanpa berpikir panjang,
dilemparkannya tombak pusaka itu ke arah binatang itu. “Duggg…!!!” Tombak
pusaka itu tepat mengenai lambungnya. Sangmaima pun sangat senang, karena
dikiranya babi hutan itu sudah roboh. Namun, apa yang terjadi? Ternyata babi
hutan itu melarikan diri masuk ke dalam semak-semak.
“Wah, celaka! Tombak
itu terbawa lari, aku harus mengambilnya kembali,” gumam Sangmaima dengan
perasaan cemas.
Ia pun segera
mengejar babi hutan itu, namun pengejarannya sia-sia. Ia hanya menemukan gagang
tombaknya di semak-semak. Sementara mata tombaknya masih melekat pada lambung
babi hutan yang melarikan diri itu. Sangmaima mulai panik.
“Waduh, gawat!
Abangku pasti akan marah kepadaku jika mengetahui hal ini,” gumam Sangmaima.
Namun, babi hutan
itu sudah melarikan diri masuk ke dalam hutan. Akhirnya, ia pun memutuskan
untuk kembali ke rumah dan memberitahukan hal itu kepada Abangnya.
“Maaf, Bang! Aku
tidak berhasil menjaga tombak pusaka milik Abang. Tombak itu terbawa lari oleh
babi hutan,” lapor Sangmaima.
“Aku tidak mau tahu
itu! Yang jelas kamu harus mengembalikan tombok itu, apa pun caranya,” kata
Datu Dalu kepada adiknya dengan nada kesal.”
“Baiklah, Bang! Hari
ini juga aku akan mencarinya,” jawab Sangmaima.
“Sudah, jangan
banyak bicara! Cepat berangkat!” perintah Datu Dalu.
Saat itu pula
Sangmaima kembali ke hutan untuk mencari babi hutan itu. Pencariannya kali ini
ia lakukan dengan sangat hati-hati. Ia menelesuri jejak kaki babi hutan itu
hingga ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah lubang
besar yang mirip seperti gua. Dengan hati-hati, ia menyurusi lubang itu sampai
ke dalam. Alangkah terkejutnya Sangmaima, ternyata di dalam lubang itu ia
menemukan sebuah istana yang sangat megah.
“Aduhai, indah
sekali tempat ini,” ucap Sangmaima dengan takjub.
“Tapi, siapa pula
pemilik istana ini?” tanyanya dalam hati.
Oleh karena
penasaran, ia pun memberanikan diri masuk lebih dalam lagi. Tak jauh di
depannya, terlihat seorang wanita cantik sedang tergeletak merintih kesakitan
di atas pembaringannya. Ia kemudian menghampirinya, dan tampaklah sebuah mata
tombak menempel di perut wanita cantik itu. “Sepertinya mata tombak itu milik
Abangku,” kata Sangmaima dalam hati. Setelah itu, ia pun menyapa wanita cantik
itu.
“Hai, gadis cantik!
Siapa kamu?” tanya Sangmaima.
“Aku seorang putri
raja yang berkuasa di istana ini.”
“Kenapa mata tombak
itu berada di perutmu?”
“Sebenarnya babi
hutan yang kamu tombak itu adalah penjelmaanku.”
“Maafkan aku, Putri!
Sungguh aku tidak tahu hal itu.”
“Tidak apalah, Tuan!
Semuanya sudah terlanjur. Kini aku hanya berharap Tuan bisa menyembuhkan
lukaku.”
Berbekal ilmu pengobatan yang diperoleh dari ayahnya ketika masih hidup,
Sangmaima mampu mengobati luka wanita itu dengan mudahnya. Setelah wanita itu sembuh dari sakitnya, ia pun
berpamitan untuk mengembalikan mata tombak itu kepada abangnya.
Abangnya sangat
gembira, karena tombak pusaka kesayangannya telah kembali ke tangannya. Untuk
mewujudkan kegembiraan itu, ia pun mengadakan selamatan, yaitu pesta adat
secara besar-besaran. Namun sayangnya, ia tidak mengundang adiknya, Sangmaima,
dalam pesta tersebut. Hal itu membuat adiknya merasa tersinggung, sehingga
adiknya memutuskan untuk mengadakan pesta sendiri di rumahnya dalam waktu yang
bersamaan. Untuk memeriahkan pestanya, ia mengadakan pertunjukan dengan
mendatangkan seorang wanita yang dihiasi dengan berbagai bulu burung, sehingga
menyerupai seekor burung Ernga. Pada saat pesta dilangsungkan, banyak orang
yang datang untuk melihat pertunjukkan itu.
Sementara itu, pesta
yang dilangsungkan di rumah Datu Dalu sangat sepi oleh pengunjung. Setelah
mengetahui adiknya juga melaksanakan pesta dan sangat ramai pengunjungnya, ia
pun bermaksud meminjam pertunjukan itu untuk memikat para tamu agar mau datang
ke pestanya.
“Adikku! Bolehkah
aku pinjam pertunjukanmu itu?”
“Aku tidak keberatan
meminjamkan pertunjukan ini, asalkan Abang bisa menjaga wanita burung Ernga ini
jangan sampai hilang.”
“Baiklah, Adikku!
Aku akan menjaganya dengan baik.”
Setelah pestanya
selesai, Sangmaima segera mengantar wanita burung Ernga itu ke rumah abangnya,
lalu berpamitan pulang. Namun, ia tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan
menyelinap dan bersembunyi di langit-langit rumah abangnya. Ia bermaksud
menemui wanita burung Ernga itu secara sembunyi-sembunyi pada saat pesta
abangnya selesai.
Waktu yang ditunggu-tunggu
pun tiba. Pada malam harinya, Sangmaima berhasil menemui wanita itu dan berkata, “Hai, Wanita burung Ernga! Besok pagi-pagi sekali kau
harus pergi dari sini tanpa sepengetahuan abangku, sehingga ia mengira kamu
hilang.”
“Baiklah, Tuan!”
jawab wanita itu.
Keesokan harinya,
Datu Dalu sangat terkejut.
Wanita burung Ernga
sudah tidak di kamarnya. Ia pun mulai cemas, karena tidak berhasil menjaga
wanita burung Ernga itu. “Aduh, Gawat! Adikku pasti akan marah jika mengetahui
hal ini,” gumam Datu Dalu. Namun, belum ia mencarinya, tiba-tiba adiknya sudah
berada di depan rumahnya.
“Bang! Aku datang
ingin membawa pulang wanita burung Ernga itu. Dimana dia?” tanya Sangmaima
pura-pura tidak tahu.
“Maaf, Adikku! Aku telah lalai, tidak bisa menjaganya. Tiba-tiba
saja dia menghilang dari kamarnya,” jawab Datu Dalu gugup.
“Abang harus
menemukan burung itu,” seru Sangmaima.
“Dik! Bagaimana jika
aku ganti dengan uang?” Datu Dalu menawarkan.
Sangmaima tidak
bersedia menerima ganti rugi dengan bentuk apapun. Akhirnya pertengkaran pun
terjadi, dan perkelahian antara adik dan abang itu tidak terelakkan lagi.
Keduanya pun saling menyerang satu sama lain dengan jurus yang sama, sehingga
perkelahian itu tampak seimbang, tidak ada yang kalah dan menang.
Datu Dalu kemudian
mengambil lesung lalu dilemparkan ke arah adiknya. Namun sang Adik berhasil
menghindar, sehingga lesung itu melayang tinggi dan jatuh di kampung Sangmaima.
Tanpa diduga, tempat jatuhnya lesung itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah
danau. Oleh masyarakat setempat, danau tersebut diberi nama Danau Si Losung.
Sementara itu,
Sangmaima ingin membalas serangan abangnya. Ia pun mengambil piring lalu
dilemparkan ke arah abangnya. Datu Dalu pun berhasil menghindar dari lemparan
adiknya, sehingga piring itu jatuh di kampung Datu Dalu yang pada akhirnya juga
menjadi sebuah danau yang disebut dengan Danau Si Pinggan.
Demikianlah cerita
tentang asal-mula terjadinya Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan di daerah
Silahan, Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Tapanuli Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar