Kamis, 17 Desember 2015

BUDAYA MISTIS PRANOTO MONGSO


BUDAYA RAMALAN PRANOTO MONGSO
Masyarakat Gunung Kidul sebagian besar penduduknya adalah petani lahan kering dan tadah hujan. Banyak macam tanaman yang dibudidayakan, salah satunya adalah tanaman umbi-umbian atau palawija, seperti kedelai, jagung, ketela dll. Mereka biasanya bercocok tanam setahun sekali dengan mengandalkan hujan dan irigasi seadanya.
Yang menarik adalah kearifan lokal dari masyarakat setempat dalam hal bercocok tanam. Dulu masyarakat menggunakan hitungan kalender musim tani jawa yang mereka sebut “Pranatamangsa”. Pranota mangsa menggunakan tanda-tanda dari alam sebagai patokan dalam bertani. Misalnya, istilah jilung yang digunakan di pranata mangsa saat ditandai tumbuhnya umbi celung, yang menandakan musim tanam akan segera tiba. Rodung, mulai berseminya umbi gadung, menandakan para petani harus segera menyiapkan benih. Lutak, yaitu saat berseminya umbi umbi katak berarti tanaman harus segera disebar. Tanda-tanda dari alam seperti ini dipakai oleh petani lokal untuk memperkirakan kapan mulai bercocok tanam dan kapan mulai panen. Jika mereka tidak tepat waktu atau melenceng sedikit, dapat dipastikan hama dan penyakit tanaman bakal menyerang.
Sebelum masa tanam, para penduduk desa berkumpul di balai pertemuan untuk melakukan slametan, ruwatan atau kenduri yang intinya berdoa kepada tuhan supaya diberi kelancaran untuk tanaman yang ditanam dan hasil panen yang banyak. Prosesi slametan dipimpin oleh pemuka agama setempat dengan mengumpulkan berkatan (nasi dengan lauk dan buah-buahan) kemudian dibacakan doa yang nantinya berkat tersebut dimakan bersama atau dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarganya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar