BUDAYA RAMALAN PRANOTO MONGSO
Masyarakat Gunung
Kidul sebagian besar penduduknya adalah petani lahan kering dan tadah hujan.
Banyak macam tanaman yang dibudidayakan, salah satunya adalah tanaman
umbi-umbian atau palawija, seperti kedelai, jagung, ketela dll. Mereka biasanya
bercocok tanam setahun sekali dengan mengandalkan hujan dan irigasi seadanya.
Yang menarik adalah
kearifan lokal dari masyarakat setempat dalam hal bercocok tanam. Dulu
masyarakat menggunakan hitungan kalender musim tani jawa yang mereka sebut “Pranatamangsa”. Pranota mangsa
menggunakan tanda-tanda dari alam sebagai patokan dalam bertani. Misalnya,
istilah jilung
yang digunakan di pranata
mangsa saat ditandai tumbuhnya umbi celung, yang menandakan musim tanam
akan segera tiba. Rodung,
mulai berseminya umbi gadung, menandakan para petani harus segera menyiapkan
benih. Lutak,
yaitu saat berseminya umbi umbi katak berarti tanaman harus segera disebar.
Tanda-tanda dari alam seperti ini dipakai oleh petani lokal untuk memperkirakan
kapan mulai bercocok tanam dan kapan mulai panen. Jika mereka tidak tepat waktu
atau melenceng sedikit, dapat dipastikan hama dan penyakit tanaman bakal
menyerang.
Sebelum masa tanam,
para penduduk desa berkumpul di balai pertemuan untuk melakukan slametan, ruwatan atau kenduri yang
intinya berdoa kepada tuhan supaya diberi kelancaran untuk tanaman yang ditanam
dan hasil panen yang banyak. Prosesi slametan dipimpin
oleh pemuka agama setempat dengan mengumpulkan berkatan (nasi dengan lauk dan
buah-buahan) kemudian dibacakan doa yang nantinya berkat tersebut dimakan
bersama atau dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar