Rabu, 23 Maret 2016

DONGENG AIR DANAU LIMBOTO

 DONGENG DANAU LIMBOTO
Dongeng Danau Limboto Dahulu, daerah Limboto merupakan hamparan laut yang luas. Ditengahnya terdapat dua buah gunung yang tinggi, yaitu gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Pada suatu ketika, air laut surut, sehingga kawasan itu berubah menjadi daratan. Di beberapa tempat yang lain muncul sejumlah mata air tawar. Salah satu diantara mata air tawar tersebut mengeluarkan air yang sangat jernih dan sejuk. Mata air tersebut bernama Mata Air Tupalo. Tempat ini sering didatangi tujuh bidadari bersaudara dari kahyangan untuk mandi dan bermain sembur-semburan air. Suatu hari, ketika tujuh bidadari tersebut sedang asyik mandi dan bersenda gurau di sekitar mata air tupalo tersebut, seorang pemuda bernama Jilumoto melintas ditempat itu. Melihat ketujuh bidadari tersebut, Jilumoto segera bersembunyi di balik sebuah pohon. “aduhai… cantiknya bidadari-bidadari itu!” gumam Jilumoto dengan takjub. Ketika para bidadari itu sedang asyik bersenda gurau, perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tempat sayap-sayap tersebut diletakkan. Setelah berhasil mengambil salah satu sayap tersebut, pemuda tampan itu kembali bersembunyi di balik pohon besar. Ketika hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut selesai mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke kahyangan. Setelah memakai kembali sayap merekea, mereka pun bersiap-siap terbang ke angkasa. Namun, salah satu sayap bidadari tersebut, pemuda tampan itu kembali tersembunyi di balik pohon besar. “hai, adik-adikku! Apakah kalian melihat sayap kakak?”. Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap adalah bidadari tertua yang bernama mbu’i Bungale. Karena hari mulai gelap, keenam bidadari itu pergi meninggalkan sang kakak seorang diri di dekat mata air Tupalo. “ kakak jaga diri baik-baik!” seru bidadari yang bungsu. “adikku janagn tinggalkan kakak!” teriak mbu’I Bungale ketika melihat keenam adiknya sedang terbang keangkasa. Keenam adiknya tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Tinggalah mbu’I Bungale seorang diri di tengah hutan. Tiba-tiba “ hai, bidadari cantik! Kenapa kamu bersedih begitu?” Tanya Jilumoto dengan berpura-pura tidak mengetahui kejadian sebenarnya. “ sayapku hilang, bang! Aku tidak bisa lagi kembali ke kahyangan.” Jawab Mbu’I Bungale. Mendengar jawaban itu, tanpa berpikir panjang Jilumoto segera mengajak Mbu’I Bungale untuk menikah. Bidadari yang malang itu pun bersedia menikah dengan Jilumoto. Setelah menikah mereka menemukan bukit yang terletak tidak jauh dari Mata air Tupalo. Di atas bukit tersebut mereka mendirikan rumah sederhana. Mereka menamai bukit itu Huntu lo Ti’opp atau Bukit Kapas. Pada suatu hari, mbu’I Bungale mendapat kiriman Bimelula, yaitu sebuah mustika sebesar telur itik dari kahyangan. Bimelula itu ia simpan di dekat mata air Tupalo dan menutupinya dengansehelai Tolu atau tudung. Beberapa hari kemudian, ada empat pelancong dari daerah timur yang melintas dan melihat mata air tersebut, salah seorang diantara mereka melihat ada tudung terletak di dekat mata air tupelo. “ hai kawan-kawan! Lihatlah benda itu! Bukankan itu tudung?” seru salah seorang dari pelancong itu. : benar kawan! Itu adlah tudung.” Kata seorang lainnya. Karena penasaran mereka segera mendekati tudung itu dan bermaksud untuk mengangkatnya, begitu mereka ingin menyentuh tudung itu, tiba-tiba badai dan topan sangat dahsyat datang menerjang, kemudian disusul hujan yang sangat deras. Keempat pelancong berlarian mencari tempata perlindungan agar terhindar dari marabahaya. Untungnya badai dan angina tersebut tidak berlangsung lama. Karena mereka masih penasaran ingin mengambil benda yang ditutupi tudung itu, merekapun bermaksud mengambil tudung itu, merea meludahi bagian atas tudung itu dengan sepah pinang yang sudah dimantrai. Mereka melihat sebuah benda bulat yang tak lain adalah Bimelula. Ketika mereka akan mengambil benda itu, tiba-tiba mbu’I bungale datang bersama suaminya Jilumoto. “ maaf tuan-tuan! Tolong jangan sentuh mustika itu! Izinkanlah kami untuk mengambilnya, karena benda itu milik kami.!” Pinta mbu’I bungale. “siap kalian berdua ini? Berani sekali mengaku sebagai pemilik mustika ini!” seru seorang pemimpin pelancong. “saya mbu’I bungale datang bersama suamiku, Jilumoto, ingin mengambil mustika itu” jawab mbu’I bungale dengan tenang. Namun keempat pelancong itu tetap memaksa ingin memiliki mustika tersebut. Mb’u’I bungale pun menantang mereka “ hai, aku ingatkan kalian semua! Kawasan mata air ini ditutrunkan tuhan oleh tuahn yang maha kuasa kepada orang-orang yang suka berbudi baik antarsesama makhluk di dunia ini. Bukan dberikan kepada orang-orang tamak dan rakus seperti kalian. Tapi jika memang benar kalian pemilik dan penguasa ditempat ini, perluaslah mata air ini! keluarkan seluruh kemampuan kalian, aku siap untuk menantang kalian! Seru mbu’I bungale. Keempat pelancong itupun bersedia menerima tantangan mbu’I Bungale. Si pemimpin pelancong segera membaca mantra dan mengeluarkan seluruh kemampuannya. “ wahai mata air kami! Meluas dan membesarlah,” demikian bunyi mantranya, namun tak sedikitpun menunjukkan adanya tanda-tanda air tersebut akan meluas setelah mantra itu dibacakan berkali-kali. Lama kelamaan mereka pun kehabisan tenaga. “hai, kenapa kalian berhenti! Tunjukkanlah kepada kami bahwa mata air itu milik kalian! Atau jangan-jangan kalian sudah menyerah!” seru mbu’I bungale. “diam kau, hai perempuan cerewet! Jangan hanya pandai bicara!” sergah pemimpin pelancong itu balik menantang mbu’I bungale. “ Jika kamu pemilik mata air ini, buktikan pula kepada kami!” setelah mendengar itu, mbu’I bungale duduk bersila di samping suaminya seraya bersedekap. Mulutnya pun komat-komit membaca doa. “hai, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah. Melebar dan meluaslah wahai mata air para bidadari… membesarlah.. !!” demikian doa mbu’I bungale. Usai berdoa, mbu’I bungal segera mengajak suaminya dan memerintahkan keempat pelancong tersebut untuk naik ke atas pohon yang paling tinggi, karena sebentar lagi kawasan itu akan tenggelam. Doanya pun dikabulkan. Beberapa saat kemudian , perut bumi tiba-tiba bergemuruh, tanah bergetar dan menggelegar. Perlahan-lahan mata air itu melebar dan meluas, kemudian menyemburkan air yang sangat deras. Dalam waktu sekejap tempat itu tergenang air. Keempat pelancong tersebut takjub melihat keajaiban itu dari atas pohon kapuk. Semakin lama genangan air itu semakin tinggi hampir mencapai tempat keempat pelancong yang berada di atas pohon kapuk itu. Mereka pun ketakutan dan meminta maaf kepada mbu’I bungale. Mbu’I Bungale adalah bidadari yang pemaaf. Dengan segera ia memohon kepada tuhan agar semburan mata air tupalo dikembalikan seperti semula. Tak berapa lama kemudian semburan air pada mata air tersebut kembali seperti semula. Mereka pun turun dari pohon. Mbu’I bungale segera mengambil tudung dan mustika BImelula. Ajaibnya ketika ia meletakkan di atas tangannya mustika yang menyerupai telur tersebut tiba-tiba menetas dan keluarlah seoang bayi perempuan yang sangat cantik. Wajahnya brcahaya bagaikan cahaya bulan, yang kemudiian diberi nama Tolango Hula yang ebrarti cahaya bulan. Tolango hula yang kelak menjadi raja limboto. Setelah itu mbu’I bunngale dan suaminya segera membawa anaknya keruamah beserta empat pelancong itu. Namun tiba-tiba mbu’I bungale melihat lima buah benda terapung-apung ditengah danau yang ternyata merupakan buah jeruk yang sama seperti yang ada di kahyangan. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bermaksud memeriksa pepohonan yang tumbuh disekitar danau. Akhirnya mbu’I Bungale menemukan beberapa pohon jeruk yang sedang berbuah lebat setelah beberapa saat dia memeriksa. Kemudian ia memanggil suaminya untuk mengamati pohon tersebut. Suaminya pun segera mendekati pohon jeruk itu sambil menggendong bayi mereka. Setelah memegang dan mengamatinya, ia pun yakin bahwa pohon dan buah jeruk itu berasala dari kahyangan. “kamu benar, Dinda! Pohon jeruk ini seperti yang ada di kahyangan.” Kata jilumoto. Beberapa saat kemudian mbu’I bungale baru menyadari bahwa keberadaan pohon jeruk di sekitar danau itu merupakan anugerah dari tuhan yang mahakuasa. Untuk mengenang peristiwa yag baru saja terjadi di daerah itu, Mbu’I bungale dan suaminya menamakan danau itu Bulalo lo limu o tutu, yang artinya danau dari jeruk yang berasal dari kahyangan. Lama-kelamaan, masyarakat setempat menyebutnya dengan Bulalo Lo Limutu atau lebih dikenal dengan sebutan Danau Limboto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar