Minggu, 01 November 2015

DONGENG PUTRA CIUNG WANARA


DONGENG CIUNG WANARA
Dahulu kala berdiri sebuah Kerajaan di Tatar pasundan Jawa barat yang bernama kerajaan Galuh. Pada masa itu raja yang memegang tampuk kepemimpinan bernama Raden Barma Wijaya Kusumah. Sang raja memiliki dua orang permaisuri.  Yang pertama bernama Nyimas Dewi Naganingrum dan yang kedua bernama Nyimas Dewi Pangrenyep. Dan pada waktu itu kedua permaisuri tersebut sedang dalam keadaan mengandung.
Hingga tibalah saat melahirkan, Dewi pangrenyep melahirkan terlebih dahulu. Dari rahimnya lahirlah seorang bayi laki-laki yang sangat lucu dan tampan, yang kemudian diberi nama Hariangbanga. Tidak lama berselang tibalah saatnya Dewi Naganingrumpun melahirkan, pada saat Dewi Naganingrum melahirkan yang bertindak sebagai bidan(Paraji Sunda) adalah Dewi Pangrenyep. Dari rahim Dewi Naganingrumpun lahirlah seorang bayi laki-laki yang tak kalah lucu dan tampan.
Entah iblis apa yang merasuki Dewi pangrenyep, ternyata dibalik kesediaannya dan kebaikannya mau membantu menolong persalinan kepada Dewi Naganingrum itu terselip rencana jahat dan sangat keji. Ternyata selama ini Dewi Pangrenyep tidak menginginkan seorang istri pesaing bagi dirinya, karena jika ada permaisuri lain maka kelak takhta kerajaan pun akan terbagi menjadi dua dan itu sangat tidak di inginkannya. Niat busuknya sudah disusun dan disiapkan sejak lama, agar semua berjalan sesuai dengan apa yang di inginkannya.
Pangrenyep ingin Dewi Nganingrum terbuang dari Istana, terusir secara hina dan nista, dan terpisah jauh dari anaknya, “...hhhmmmm rasakan bagaimana sakit dan pedihnya kau terpisah dari anakmu dan terusir dari kerataon dengan hina...!”.  Bisik hati jahat Pangrenyep, sambil terus berusaha membantu proses persalinan Dewi Naganingrum, karena memang ini saat yang ditunggu-tunggunya untuk melancarkan aksi jahat dan busuknya tersebut.
Tanpa sepengetahuan Dewi Naganingrum, bayi laki-lakinya yang lucu dan tampan itu telah ditukarnya dengan seekor anak anjing, sedangkan bayi yang sebenarnya telah dimasukannya kedalam sebuah keranjang dengan disertakan sebutir telur ayam, lalu bayi dalam keranjang itu dihanyutkannya kesungai Citanduy.
Sementara dikeraton kerajaan telah terjadi kehebohan, kabar yang sangat-sangat mengejutkan diluar dugaan semua orang yang ada dikeraton Galuh. Apalagi bagi seorang Raja kabar ini adalah kabar yang telah menodai nama besarnya dan menghancurkan harga dirinya sebagai raja. Bagaimana tidak Dewi Naganingrum yang selama ini dicintainya dan di kasihinya telah melahirkan seekor anak anjing!!!. Sungguh hina nista dan tercela !.
Dalam keadaan murka Raja memanggil Ki Lengser (Penasehat raja), tetapi kali ini bukan untuk meminta nasehat ! melainkan memerintahkan kepada Lengser agar Dewi Naganingrum segera dibunuh dan dibuang mayatnya ke tempat yang jauh.”Aku tidak mau tahu seperti apa dan bagaimana caranya! yang pasti bunuh Naganingrum keparat itu dan buang mayatnya ditempat yang jauh tanpa diketahui oleh siapapun!...mengerti???!”. Perintah Raden Barma Wijaya Kusumah dengan nada membentak dan wajah yang merah padam. “Ba...bbaaaik...segera saya laksanakan kanjeng Prabu!”. Ki Lengser tak punya pilihan dan tak ada waktu untuk mengajak berbicara lebih tenang dan manusiawi kepada rajanya, tanpa pikir panjang Ki Lengserpun segera pamitan dari hadapan rajanya untuk segera menjalankan tugasnya. Dengan hati yang sangat pilu dan miris Ki Lengser tak bisa berbuat banyak selain mengajak Dewi Naganingrum yang baru saja selesai melahirkan untuk segera keluar meninggalkan istana Galuh.
Sepanjang perjalanan Ki Lengser berpikir keras,  untuk menyelamatkan nyawa Dewi Naganingrum, karena dia yakin semua peristiwa yang terjadi adalah hasil rekayasa”Tidak mungkin dan tidak masuk akal mana bisa manusia melahirkan binatang, apalagi seekor anjing!”, gumamnya dalam hati. Walaupun perjalanan lama dan jauh sepanjang jalan Ki Lengser tidak berani  mengajak berbicara kepada junjungannya, dia hanya diam dan terus menatap lurus kedepan. Sementara Dewi Naganingrum yang berada dibelakang dalam sebuah gerobak kayu yang tertutup, yang sangat tidak layak untuk di isi oleh seorang permaisuri, sesampainya disebuah hutan belantara akhirnya ki Lengser berhenti. Dan meminta Dewi Naganingrum untuk ikut turun.
Dibuatkannya sebuah gubug untuk tempat tinggal bagi Dewi Naganingrum, dengan segala kelengkapannya meski sangat sederhana. Walaupun dengan hati berat terpaksa Ki Lengser harus segera meninggalkan junjungannya. Setelah dirasa cukup memberi nasehat kepada Dewi Naganingrum Ki Lengser berjanji akam menengoknya walaupun tidak bisa menjanjikan seberapa sering dan seberapa lama. Dewi Naganingrun hanya bisa pasrah pada Sang Maha Pencipta, dengan segala yang sedang menimpanya. Tidak mudah memang menerima dan menjalani sebuah peristiwa yang tiba-tiba saja dan menyakitkan, kini dirinya harus terbuang dari Istana yang megah yang serba mudah, dan sekarang harus berhadapan dengan kehidupan yang benar-benar baru dan susah, sendirian tanpa seorang embanpun, jauh dari khidupan ramai karena berada ditengah hutan belantara. Tetapi Dewi Naganingrum tidak ingin hanyut dalam kesedihan yang panjang. Ia masih bisa bersyukur memiliki seorang Lengser yang baik, yang mau menyelamatkan nyawanya. Dihatinya penuh harap dan cita, suatu hari nanti ia akan bertemu dengan putranya yang sebenarnya, dan bisa kembali hidup di Istana Galuh bersama keluarganya. Ki Lengserpun pulang kembali ke keraton Galuh untuk melapor kepada raja bahwa tugasnya membunuh Dewi Naganingrum telah diselesaikannya dengan baik. Dan untuk buktinya Ki Lengser telah membasahi senjatanya dengan darah binatang buruan di hutan tadi. Sehingga nampak pada senjatanya garis-garis darah kering.
Lain Dewi Naganingrum lain pula dengan Dewi Pangrenyep. Dia merasa suka cita dengan usaha dan perbuatan jahatnya melenyapkan Dewi Naganingrum dari keraton, semua berjalan mulus tanpa ada yang mengetahui selain orang-orang kepercayaannya yang telah terlibat pada rencana jahat tersebut. Semua yang terlibat bungkam dan tutup mulut, mulut mereka  telah penuh dijejali dengan hadiah yang tiada terhingga dari Dewi Pangrenyep. Tidak akan ada yang berani membocorkan rahasianya, selain telah dijejali dengan hadiah yang tiada terhingga merekapun di ancam barang siapa yang berani buka mulut maka nyawa akan menjadi bayarannya.
Sementara ditempat lain, disebuah kampung yang bernama kampung Gegersunten hiduplah sepasang suami istri yang sudah cukup tua. Tetapi mereka tidak memiliki anak satu orangpun. Merekalah yang bernama Aki dan Nini Balangantrang. Suatu sore keduamnya pergi kepinggiran kali Citanduy untuk menengok Babadon (perangkap ikan) yang sudah mereka pasang sejak pagi buta. Alangkah terkejutnya mereka dan sekaligus bahagia ketika sampai ditempat mereka memasang Babadon,karena disana mereka menjumpai sebuah keranjang besar yang berisi seorang  bayi laki-laki yang sangat lucu dan tampan, mungkin inilah jawaban doa yang selama ini mereka panjatkan tanpa lelah. Dengan segenap suka cita maka dibawanya bayi lucu dan tampan itu kerumah mereka dan dirawatnya sepenuh cinta dan kasih layaknya mereka merawat anaknya sendiri. Sedangkan sebutir telur ayam yang disertakan dengan bayi tersebut, telah dikirimnya oleh Aki Balangantrang kepada se ekor naga yang bernama Nagawiru dan bersemayam di gunung Padang. Naga ini bukanlah naga sembarangan melainkan jelmaan seorang dewa, dan sudah menjadi tugasnya untuk mengerami sebutir telur yang disertakan dengan bayi dari putra Barma Wijaya Kusumah. Yang kelak di kemudian hari telur itu menetaskan seekor ayam jantan dan menjadi binatang piaraan serta kesayangan dari si anak bayi yang dihanyutkan.
Waktu terus berlalu, tanpa terasa bayi itu sudah tumbuh remaja kini, tampan dan elok rupanya. Dengan penuh ketekunan dan ketelatenan Aki dan Nini Balangantrang mewariskan semua ilmu kesaktian yang mereka miliki kepada anak angkatnya. Bahkan Nagawiru sekalipun tidak tinggal diam dia sering mendatangi dan mengajarkan segala ilmu kesaktian kepada pemuda tampan yang sampai sekarang belum diberi nama oleh kedua orang tua angkatnya itu. Hingga pada suatu hari Aki Balangantrang kembali mengajak putranya untuk berburu ke hutan  di sekitar tempat tinggal mereka. Sesampainya di hutan anak angkat Aki Balangantrang ini melihat seekor monyet yang dia anggap aneh karena baru melihatnya,”Ki kalau binatang itu apa namanya?” Aki Balangantrang pun menjawab, “Wanara!”. Kemudian diapun melihat seekor burung yang baru dijumpainya”kalau burung itu apa namanya Ki?”. Aki Balangantran menjawab”itu namanya ciung!”. Remaja gagah dan tampan itu terdiam sesaat, lalu menatap ayah angkatnya”Ki kalau mereka saja punya nama yang bagus, lalu mengapa saya tidak?, bolehkah aku pakai nama keduanya sebagai namaku?”. Aki Balangantrang terkesiap, baru disadarinya kalau anaknya itu belum punya nama yang sebenarnya, selain nama panggilan anak laki-laki pada umumnya. Akhirnya keduanya sepakat, nama dari kedua satwa itu digunakan sebagai nama anaknya. Jadilah ia bernama Ciung Wanara.
Kini Ciung Wanara sudah tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan, dengan kemampuan ilmu kanuragan yang cukup tinggi, berkat bimbingan kedua orangtua angkatnya dan juga Nagawiru. Ayam jantan kesayangannya tidak pernah jauh dari dirinya, kemanapun pergi selalu saja dibawa menyertai. Suatu hari Ciung Wanara berpamitan kepada kedua orang tuanya, ia menyampaikan keinginannya untuk pergi ke Galuh ingin menemui sang Raja. Naluri seorang anak tidak dapat dihalangi oleh apapun, meskipun dirinya belum tahu yang sebenarnya tetapi nuraninya tetap mengajak berangkat untuk menjumpai sang Raja galuh. Ciung Wanara sangat memahami tidak mudah baginya untuk bisa bertemu dengan Raja Galuh, diapun memutar otak mencari cara untuk bisa melaksanakan keinginannya.
Berangkatlah Ciung Wanara ke kerajaan Galuh dengan membawa serta ayam jantan kesayangannya. Sesampainya di Galuh, Ciung Wanara bertemu dengan dua orang patih yang bernama Purawesi dan Puragading. Kedua orang patih keraton itu tertarik melihat penampilan ciung Wanara, yang membawa-bawa ayam jantan, akhirnya kedua patih itu menghampiri dan mengajak adu tanding dengan ayam miliknya masing-nasing. Ciung Wanarapun tidak menolak ajakan kedua orang patih tersebut, maka terjadilah pertandingan sabung ayam di tengah alun-alun kota Galuh. Nasib baik berpihak pada Ciung Wanara, ayam jantan kesayangannya memenangkan pertandingan dan ayam kedua patih tersebut kalah sampai mati.
Karena pada masa itu pertandingan sabung ayam sedang disukai dan digandrungi masyarakat kota Galuh, dengan serta merta kemenangan Ciung Wanara atas ayam milik kedua patih tersebut segera tersiar ke seantero kota Galuh hingga terdengar sampai kekeraton. Bahwa di kota ada seorang pemuda tampan bernama Ciung Wanara memiliki seekor ayam jantan yang tangguh. Rajapun mengutus Ki Lengser untuk mencari pemuda tersebut. Takdir telah mempertemukan antara ayah dan anak yang selama ini terpisah oleh fitnah jahat perbuatan Dewi Pangrenyep. Ki Lengserpun tanpa harus bersusah payah berhasil bertemu dengan Ciung Wanara, yang kemudian diajaknya untuk menghadap Sang Prabu Barma Wijaya Kusumah. Pucuk dicinta ulampun tiba, hati Ciung Wanara sangat bahagia dan gembira, karena tujuannya untuk bertemu dengan Raja Galuh akhirnya terwujud tanpa harus menemui banyak halangan ataupun rintangan.
“Anak muda siapa namamu dan dari mana asal mu?” Sang Prabu segera memeriksa dengan siapa ia berhadapan saat ini. Ditatapnya wajah pemuda tampan dengan penampilannya yang sangat sederhana tetapi tetap memikat siapapun orang yang memanndangnya. Semakin ditatap semakin terasa ada getaran yang tak bisa diterjemahkan oleh kata-kata. Sang Prabu merenung dalam sambil terus menatap pemuda yang duduk bersimpuh dihadapannya. “Nama saya Ciung Wanara kanjeng Prabu, saya berasal dari dusun Gegersunten, anak angkat dari Aki dan Nini Balangantrang”. Setelah mendapat cukup penjelasan dari pemuda yang duduk dihadapannya, sang Prabu Barma Wijaya Kusumahpun melanjutkan niatnya untuk mengajak pertandingan sabung ayam dengan Ciung Wanara. Dan ajakan itupun disambut baik oleh Ciung Wanara. Keduanya bersepakat, Jika Ciung Wanara menjadi pemenang dalam sabung ayam itu maka setengah dari kerajaan Galuh akan diberikan kepada Ciung Wanara dan Ciung Wanara akan di akui sebagai anaknya.  Ciung Wanara akan diangkat sebagai raja yang syah. Namun sebaliknya, jika Ciung Wanara kalah dalam pertandingan sabung ayam tersebut, maka nyawa Ciung Wanara menjadi taruhannya, dia akan dihukum mati sebagai bukti kekalahannya.
Dan sabung ayampun segera berlangsung dengan seru, pada awalnya ayam milik Ciung Wanara nampak kalah dan terdesak, bahkan....ayam itupun jatuh terkapar hampir mati. Ciung Wanara segera mengambil ayamnya dan dibawa lari ketepian sungai Cibarani untuk segera dimandikan agar ayamnya segar kembali. Disaat yang sedang kritis itu Nagawirupun datang dan masuk meraga sukma ketubuh ayam milik Ciung Wanara. Ayam itupun dengan serta merta menjadi segar dan kuat kembali. Ciung Wanara segera kembali membawa ayamnya  yang sudah dimandikan dan pertandinganpun dilanjutkan. Kali ini berkat ada kekuatan Nagawiru didalam tubuh ayam milik Ciung Wanara maka dengan mudah dan cepat ayam milik Prabu Barma Wijaya Kusumahpun mulai kalah dan terdesak, bahkan ayam itu sering lari ketakutan keluar dari arena pertandingan. Hingga akhirnya ayam milik sang Prabu kalah dan menemui ajalnya. Ciung Wanara kembali memenangkan pertandingan sabung ayam tersebut. Dia sangat bersyukur kepada Sang Maha Pencipta atas segala anugrah yang telah dilimpahkannya.
Sesuai dengan kesepakatan Prabu Barma Wijaya Kusumahp  memenuhi janjinya dan mengakui Ciung Wanara sebagai putranya yang syah. Maka kerajaan Galuhpun dibagi dua oleh sang Prabu, setengahnya lagi  diberikan kepada  Hariangbanga dan diangkat pula menjadi raja menggantikan dirinya. Segala rahasia kehidupan Ciung Wanarapun terbuka sudah dan segala kesalahan yang dilakukan Dewi Pangrenyep terbongkar dengan sendirinya, Setelah Ki Lengser menceritakan bahwa ibunya Dewi Naganingrum masih ada dan di asingkan di sebuah hutan  Ciung Wanara sangat berbahagia dan segera menjemput ibundanya. Begitupun dengan kedua orang tua angkatnya Aki dan Niini Balangantrang dibawa serta kekeraton. Kini Ciung Wanara telah menjadi seorang raja.
Sementara Dewi Pangrenyep, mulai hatinya ketar ketir setelah tahu kalau Ciung Wanara adalah anak bayi yang dibuangnya  dulu. Hari-harinya jadi penuh dengan kegelisahan dan ke khawatiran. Hingga akhirnya kegelisahan dan ke khawatirannya itupun segera terjawab dan terwujud. Prabu Ciung Wanara setelah tahu apa yang telah dilakukan oleh Dewi Pangrenyep terhadap ibunda dan dirinya sendiri, maka segera membentuk pasukan khusus untuk menangkap Dewi Pangrenyep. Tanpa menemui kesulitan yang berarti Dewi pangrenyep segera tertangkap dan di jebloskan kedalam penjara istana untuk membayar segala  kejahatan dan kekejiannya. Kini Pangrenyep mendekam didalam penjara, menangis dan menyesal tidak mengembalikan keadaannya dan tidak menjadikan dirinya lepas dari salah dan perbuatan kejinya. Sekalipun menangis darah tetap Pangrenyep harus mendekam didalam penjara sebagai tebusan atas dosanya.
Sementara Raden Hariangbanga  sangat kaget ketika mengetahui kalau ibunda tercintanya telah ditangkap oleh tentara prabu Ciung Wanara dan dijebloskan kedalam penjara. Pertarungan antara dua orang adik kakak beda ibu itupun tak dapat terelakan lagi. Meskipun raden Hariangbanga sangat sadar dengan apa yang telah dilakukan ibundanya, tetapi dia tetap ingin membela. Pertarungan sengit terus terjadi dan raden Hariangbanga harus berlaku satria dia kalah terdesak oleh adiknya Ciung Wanara.
Konon menurut tutur yang beredar di masyarakat tatar Pasundan Karena kalah terdesak dalam pertarungan tubuh raden Hariangbanga dilempar oleh  Ciung Wanara hingga menyebrangi sungai Cipamali, maka sejak itulah kerajaan galuh benar benar terbagi menjadi dua.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar