DONGENG PUTRI DEWI TANI
Sejauh ini cerita lengkap
tentang Siraso ditemukan dalam buku Fondrakö Ono Niha, Agama Purba –
Hukum Adat – Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias (1981) karya Sökhiaro
Welther Mendröfa (Ama Rozaman).
Dalam bab IV buku tersebut
diceritakan tentang Atumbukha Ziraha Wangahalö (Lahirnya Dewa Dewi Pertanian)
dalam bentuk narasi dan hoho.
Buruti
Siraso (Siraso) adalah putri dari Raja Balugu Silaride Ana’a di Teteholi Ana’a. Balugu Silaride Ana’a
adalah keturunan lebih dari sepuluh setelah Balugu Luo Mewöna. Siraso memiliki
saudara kembar laki-laki bernamaSilögu Mbanua (Silögu).
Di Teteholi Ana’a, Siraso rajin mendatangi
rakyat saat penaburan bibit sehingga tanaman subur dan berbuah lebat. Sedang
Silögu gemar mendatangi rakyat saat panen sehingga bulir-bulir panenan banyak
dan bernas.
Ketika memilih
jodoh, Siraso mengidamkan
suami yang mirip kembarannya, demikian pula Silögu ingin beristri seorang
wanita persis Siraso. Untuk
mencari jodohnya, Silögu pergi berkelana. Sementara Siraso diturunkan ayahnya
ke muara sungai Oyo. Anak kembar itu dipisah agar tidak terjadi incest (kawin sumbang). Dari muara
sungai Oyo, Siraso meneruskan perjalanan ke hulu, tiba di suatu dataran rendah
yang kemudian bernama Hiyambanua, dan bermukim di situ.
Setelah setahun berkelana Silögu pulang. Di rantau dia tidak
menemukan idamannya, di Teteholi Ana’a dia juga tidak bertemu kembarannya.
Menurut ayahnya, Siraso telah meninggal dunia. Betapa gundah-gulana hati
Silögu. Akhirnya, Silögu mohon diturunkan ke bumi. Silögu kebetulan diturunkan di muara sungai Oyo. Dia berjalan
ke hulu sungai, dan tiba di Hiyambanua. Di sana dia bertemu seorang wanita yang
mirip adik kembarnya. Sang wanita itu juga melihat Silögu mirip abang kembarnya.
Dua insan itu akhirnya
kawin. Setelah menjadi pasangan suami-istrii barulah Silögu dan wanita itu
(yang ternyata adalah Siraso) mengetahui bahwa mereka saudara kembar. Apa boleh
buat, Maha Sihai Si Sumber Bayu telah menjodohkan mereka.
Di bumi Nias Siraso dan
Silögu tetap gemar mengunjungi para petani. Doa dan berkat mereka dibutuhkan
untuk bibit dan untuk panen. Setelah mereka meninggal dunia, orang-orang
membuat patung Siraso (Siraha Woriwu)
dan patung Silögu (Siraha Wamasi)
untuk memanggil arwah mereka pada waktu para petani turun menabur bibit dan panen.
Siraso dikenal sebagai Dewi Bibit (Samaehowu
Foriwu), Silögu dikenal sebagai Dewa Panen (Samaehowu Famasi).
Pada waktu mulai menabur
bibit, masing-masing petani membawa bibit tanaman, diserahkan kepada ere (ulama
agama suku) agar bibit tersebut diberkati oleh Dewi Bibit. Upacara pemberkatan
ini mengorbankan babi. Ere memimpin doa pemujaan Siraha Woriwu. Syair hoho
Memuja Dewi Bibit (Fanumbo Siraha Woriwu)
diawali:
He le Siraso samo’ölö, he le Siraso samowua;
soga möi moriwu tanömö, möiga mangayaigö töwua;
mabe’zi sarasara likhe, matanö zi sambuasambua.
(Hai Siraso Sumber hasil, hai Siraso sumber buah.
Kami tiba, menyemai bibit, kami tiba menyemai tampang.
Kami semai tunggal berlidi, kami semai biji satuan.)
Setelah itu syair hoho berisi harapan agar bibit tanaman:
1.
diberi akar menembus
bumi, diberi batang naik mengatas
2.
mayangnya dimatangkan
oleh terik, buahnya dimatangkan oleh panas
3.
terlindung dari
serangan: tikus, walang sangit, celeng, monyet, hama, pipit
4.
tidak diganggu arwah
orang mati dan tidak dihanyutkan banjir
Selain harapan, syair hoho
juga berisi janji (ikrar) yang harus ditepati:
Mabé wabaliŵa mbalaki, mabé wabaliŵa zemoa;
sumange woriwu tanömö, sumange woriwu töwua.
Andrö faehowu ya mo’ölö, andrö faehowu ya mowua.
(Akan kami bayar emas murni, dan kami membayar emas perada.
Persembahan bagi Dewi Bibit, persembahan bagi Dewi tampang.
Berkatilah agar ganda hasil, berkatilah agar berganda buah.)
Tidak dijelaskan bagaimana janji tersebut dilaksanakan, namun dalam pemujaan Dewa Panen disebutkan bahwa sebagian hasil panen harus dibagikan kepada: kaum miskin atau melarat, janda, anak yatim, dan anak yatim-piatu. Bila dilanggar akan membuat dewa marah dan merusak hasil pertanian.
Demikianlah cerita Dewi
Bibit (dan Dewa Panen) dalam buku Ama Rozaman. Kisah Siraso dan Silögu ini pada
zamannya merupakan mite. Para ahli menyebutnya mitos teogonis (mite terjadinya
dewa-dewi), dianggap benar-benar terjadi, dianggap suci (sakral), dan
diwariskan turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Nias tempo dulu.
Keturunan
Siraso
Mitos teogonis dewa-dewi
pertanian kini menjelma menjadi legenda (dianggap benar-benar terjadi, tapi
tidak sakral). Ketika agama modern datang, terjadi iconoclasm (pemusnahan patung-patung berhala) di Nias.
Masyarakat diharamkan menyembah patung (fanömba
adu), sehingga mite dewa-dewi pertanian kehilangan sarana pewarisannya.
Dewa-dewi pertanian tidak dianggap sakral lagi oleh orang Nias, kini diganti
mitos modern bertema teknologi: traktor, pestisida, pupuk, dan bibit unggul.
Bagi folk (orang Nias
zaman sekarang) cerita itu bukan lagi sebuah lore (kebudayaan yang diwariskan). Cerita itu hanyalah sebuah
mite kuno (mite milik orang Nias kuno, bukan milik orang Nias kini) yang
lambat-laun kian dilupakan. Namun keturunan Siraso yang telah tersebar di Tanö
Niha tentu tidak mudah dilupakan.
Generasi ketiga dari
Siraso-Silögu adalah anak kembar: Silaheche
Walaroi dan Silaheche
Walatua. Mereka pindah dari Hiyambanua ke Gomo. Hanya Silaheche Walaroi (Falaroi) yang
selamat sampai di Börönadu Gomo. Falaroi menetap di sana bersama keturunan Hia
Walangi Adu. Dia mendapat gelar Sebua
Moroibalangi. Dari nama gelar itulah asal mado Zebua yang dipakai
keturunannya (Fries, 1919: 106-8;
Zebua, 1996: 6).
Menurut Faondragö Zebua (Ama Yana),
anak Falaroi bernama Lari SumölaIagö Tanömempunyai anak dua:
dan Börödanö. Iagö Tanö berputera Ba’usebua. Ba’usebua kawin denganBuruti Lama, saudari baginda Gea
(keturunan Daeli) di Tölamaera, anaknya empat: Lafoyolatio,Lanö, Hinou Manofu, Manofugabua. Keturunan mereka menyebar: Lafoyolatio tinggal di Ononamölö, Lanö
kembali ke Hiyambanua dan sebagian keturunannya pergi ke Laraga, Hinou Manofu
dan Manofugabua berdomisili di Luaha Moro’ö mendirikan Ononamölö dan Mazingö.
SedangBörödanö menjadi leluhur
mado Zebua di Tetehösi Idanögawo (Zebua,
1996: 16-7).
Cerita versi Faogöli
Harefa agak berbeda. Cucu Siraso-Silögu yang tinggal di Hiyambanua bernama Lari
Sumöla mengembara hingga ke Tölamaera. Di sana dia kawin dengan Buruti Lama,
anaknya dua: I’agötanö dan Börönadö. Anak I’agötanö bernama Ba’u Sebua mempunyai
anak empat: Lafoyo Latio, Lanö, Manofu Gobua, Hino Manofu. Keturunan mereka
menyebar: Lafoyo Latio tinggal di Ononamölö, Lanö pergi ke Oyo, Manofu Gobua
pergi ke Luaha Moro’ö, Hino Manofu pergi ke Sowu. Cucu dari Ba’u Sebua menjadi
asal-usul mado Zebua (Harefa, 1939:
18).
Dalam kedua cerita
tersebut tersimpan sebuah misteri. Suami Buruti Lama menurut Faondragö Zebua
(1996) adalah Ba’usebua, sedang Faogöli Harefa (1939) mengatakan Lari Sumöla.
Untuk menyingkap misteri tersebut, tampaknya perlu penelusuran yang lebih luas
dan teliti terhadap silsilah keluarga (zura nga’ötö) para keturunan Sang Dewi
Bibit, meliputi: Zebua, Zega, Zai, Ziliwu, Hawa, dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar