DONGENG JAKA POLENG
Laksito adalah seorang pemuda tampan dan
berbadan tegap. Dia bekerja sebagai tukang pelihara kuda milik Bupati Brebes.
Kanjeng Bupati suka akan hasil kerja Laksito yang rajin dan selalu bersih.
Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa
Laksito pergi ke sawah untuk mencari rumput.
“Bi…nyong ning sawah ndisit! (Bi…saya ke sawah dulu!)”. Teriak Laksito berpamitan pada bi Ojah, tukang masak Kanjeng Bupati.
“Bi…nyong ning sawah ndisit! (Bi…saya ke sawah dulu!)”. Teriak Laksito berpamitan pada bi Ojah, tukang masak Kanjeng Bupati.
“Ya cah bagus, ati-ati yak…(Ya anak ganteng, hati-hati
yah…)”. Jawab Bibi sambil melakukan sesuatu di dapur tanpa menoleh ke Laksito.
Sambil membawa arit dan karung, Laksito berjalan menyusuri pematang-pematang
sawah mencari rumput-rumput yang lebat dan hijau. Setelah sampai disebuah tanah
lapang, dia bergumam.
“Ehm, ning kene kyeeh sukete ijo-ijo nemen, pasti si
genta dokoh mangane. (Ehm, di sini niih rumputnya hijau-hijau banget, pasti si
genta lahap makannya)”.
Kemudian Laksito mulai mengambil
kuda-kuda untuk membabat semua rumput yang ada di depannya. Sesekali Laksito
mengusap keringat yang ada di dahi dengan punggung tangannya. Dia terus
membabat rumput tanpa kenal lelah.
Setelah satu karung sudah penuh, Laksito seperti biasa beristirahat dibawah pohon yang rindang. Ditenggaknya air kendi yang dibawa dari rumah. Keringat bercucuran membasahi raut muka dan tubuhnya. Laksito setengah berbaring sambil mengipas-ngipaskan sebatang daun yang jatuh dari pohon.
Setelah satu karung sudah penuh, Laksito seperti biasa beristirahat dibawah pohon yang rindang. Ditenggaknya air kendi yang dibawa dari rumah. Keringat bercucuran membasahi raut muka dan tubuhnya. Laksito setengah berbaring sambil mengipas-ngipaskan sebatang daun yang jatuh dari pohon.
Saat Laksito hendak memejamkan mata, dia
melihat ada seekor ular poleng dengan bermahkota intan. Laksito jadi penasaran
untuk mengikuti ular tersebut. Laksito berjalan pelan-pelan agar tidak terlihat
oleh ular tersebut. Ular tersebut kemudian berhenti disebuah semak-semak.
Laksito ikut berhenti. Matanya sangat serius memandangi ular poleng yang sedang
melakukan pelepasan kulit.
Setelah beberapa menit, ular tersebut
berhasil melepaskan kulit. Laksito mendekati tempat tersebut setelah ular itu
pergi. Kemudian Laksito mengambil bekas kulit ular poleng itu. Laksito kembali
ke tempat semula untuk melanjutkan pekerjaannya. Dua karung harus ia penuhi.
“Uhh, akhire kebek juga, balik ah, wis ngelih (Uhh, akhirnya penuh juga, pulang ah, sudah lapar).” Gumam Laksito sembari mengikat kedua karung yang berisi rumput tersebut.
Laksito beristirahat sebentar, kemudian pulang.
“Uhh, akhire kebek juga, balik ah, wis ngelih (Uhh, akhirnya penuh juga, pulang ah, sudah lapar).” Gumam Laksito sembari mengikat kedua karung yang berisi rumput tersebut.
Laksito beristirahat sebentar, kemudian pulang.
……………………ooo…………………….
“Bi, aku ngelih bi, pan mangan (Bi, aku lapar bi, mau
makan)” Seru Laksito.
“Lho To, kowen ning ndi! (Lho To, kamu di mana!)”.
Teriak Bi Ojah karena terkejut.
“Nyong neng iringane Bibi! (Saya di samping Bibi!)”
Kata Laksito heran.
“Aja guyon toh To… Bibi mboten weruh kowe neng
kene…(Jangan bercanda dong To…Bibi tidak melihat kamu ada di sini)”. Kata bibi
agak ketakutan.
“ Nyong neng kene Bi..(Aku di sini Bi…)”. Kata Laksito
dengan memegang tangan Bibi Ojah. Bibi Ojah kaget buka kepalang ketika dia
merasakan ada tangan yang memegang tangannya tapi tidak terlihat. Bi Ojah
langsung teriak masuk ke padepokan Kanjeng Bupati untuk mengadu.
Selang beberapa menit, Bi Ojah kembali
ke dapur bersama Kanjeng Bupati.
“Neng endi Bi…?” (di mana bi…). Tanya Kanjeng Bupati penasaran atas cerita Bi Ojah.
“Neng endi Bi…?” (di mana bi…). Tanya Kanjeng Bupati penasaran atas cerita Bi Ojah.
“Ampun Kanjeng, suarane neng kene Gusti.” (Ampun
Kanjeng, suaranya tadi di sini). Bi Ojah mencoba meyakinkan Kanjeng Bupati.
“Laksito! Kowen neng ndi?” (Laksito! Kamu di mana?).
Teriak Kanjeng Bupati.
“Ampun Gusti Kanjeng, hamba neng kene, neng iringane
Gusti.” (Ampun Tuan, saya di sini, di samping tuan). Jawab Laksito.
“Lho lho lho, ko kowen ora katon?” (Lho lho lho, kok
kamu tidak kelihatan?) seru Kanjeng terperanjat sangat terkejut.
“Ampun Gusti, hamba ora ngerti ”.( Ampun Gusti, hamba
tidak mengerti) Jawab Laksito bingung.
Sejenak Kanjeng Gusti Bupati merenung
dan kemudian bertanya pada Laksito.
“ana kejadian apa sing kowen alami sedurung kyeeh?”.(
ada kejadian apa yang kamu alami sebelum ini?) Tanya Gusti Bupati. Laksito
terdiam sejenak mencoba berfikir.
“Oh iya Gusti, tadi , sewaktu hamba mencari rumput di
sawah, hamba melihat ular poleng yang kepalanya ada intan
mengkilat akan nglungsumi (berganti kulit). Lalu hamba
meperhatikan dan hamba mengambil kulit ular poleng tersebut”. Cerita Laksito
atas kejadian tadi di sawah.
“Oh…seperti itu, lalu kulit ular poleng itu sekarang
dimana?” Tanya Gusti Kanjeng.
“Di saku hamba”. Jawab Laksito.
“Coba kamu keluarkan kemudian di taruh diatas meja”.
Pinta Gusti.
“Iya Gusti.” Laksito menuruti.
Benar juga, setelah kulit tersebut
dikeluarkan dan diletakkan di meja, seketika tubuh Laksito terlihat. Ini
membuat Bi Ojah yang sedari tadi diam, langsung terperanjat.
“Wah Laksito, kowen wis katon ( Wah Laksito, kamu sudah kelihatan)”. Teriak Bi Ojah.
Laksito tersenyum lega. Kanjeng Gusti Bupati mengangguk mengerti.
“To, kulit ular itu aku simpan”. Kata Gusti sambil telunjuknya menunjuk kulit ular tersebut memberi isyarat kepada Laksito untuk diambilkan dan kemudian diserahkan ke Gusti Bupati.
“Wah Laksito, kowen wis katon ( Wah Laksito, kamu sudah kelihatan)”. Teriak Bi Ojah.
Laksito tersenyum lega. Kanjeng Gusti Bupati mengangguk mengerti.
“To, kulit ular itu aku simpan”. Kata Gusti sambil telunjuknya menunjuk kulit ular tersebut memberi isyarat kepada Laksito untuk diambilkan dan kemudian diserahkan ke Gusti Bupati.
Dengan halus Laksito menolaknya.
“Ampun Gusti, kulit ular ini punya hamba”.
“Untuk apa To, tidak ada gunanaya kulit
ular itu digunakan kamu.” Bujuk Gusti Bupati.
“Ampun Gusti, karena yang menemukan kulit ular ini
aku, jadi aku yang lebih berhak memiliki benda ini ”. Jawab Laksito.
“Tidak ada gunanya sama kamu, cepat
berikan kepadaku !”. Teriak Gusti memaksa Laksito.
“Ampun Gusti, hamba tidak bisa”. Kekeh Laksito.
“Ampun Gusti, hamba tidak bisa”. Kekeh Laksito.
Kemudian terjadilah perebutan antara
Gusti Bupati dan Laksito. Karena Laksito takut benda itu akan jatuh ke tangan
Gusti Bupati, Laksito buru-buru memasukkan benda itu ke dalam mulutnya, dan
tanpa disengaja benda tersebut tertelan.
Gusti Bupati hanya bisa menahan
emosinya, saat melihat benda itu tertelan. Perlahan-lahan tubuh Laksito
menghilang.
“Maafkan hamba Gusti, hamba sudah berani melawan
dengan Gusti”. Kata Laksito lirih.
Bupati menghela nafas panjang.
Bupati menghela nafas panjang.
“Aku menyesal sudah memaksa kamu Laksito,
sebenarnya itu memang haknya kamu Laksito, tapi aku memaksa, jadi
akhirnya seperti ini, aku menyesal, maafkan aku Laksito.”Sesal Gusti Bupati.
Lalu Gusti Bupati melanjutkan perkataannya; “Ini
mungkin sudah takdirnya kamu Laksito, kamu wujudnya sudah tidak ada. Aku minta
sama kamu, tolong kamu jaga rakyatku, yaitu rakyat Brebes. Karena kamu masih
Jejaka dan telah memakan kulit ular poleng, jadi sekarang kamu saya namakan
Jaka Poleng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar