DONGENG BATU BAGGA
Tolitoli adalah salah satu nama
kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Di kabupaten yang terkenal
sebagai penghasil rempah-rempah berkualitas ini terdapat sebuah batu yang
melegenda di kalangan masyarakat setempat. Konon, batu tersebut merupakan
jelmaan sebuah perahu bagga (perahu layar), sehingga disebut batu bagga.
Peristiwa apakah yang telah menyebabkan perahu bagga itu menjelma menjadi batu?
Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Batu Bagga berikut ini.
* * *
Konon, di sebuah kampung di daerah
pesisir Sulawesi Tengah, Indonesia, hiduplah seorang duda bernama Intobu. Ia
tinggal di sebuah gubuk bersama seorang putranya yang bernama Impalak. Mereka
hidup sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka pergi ke laut
untuk mencari ikan.
Pada suatu malam, ketika Intobu bersama
anaknya hendak mencari ikan di laut, tiba-tiba angin bertiup kencang dan hujan
deras. Meskipun demikian, dua orang bapak dan anak itu tetap memutuskan untuk
melaut. Dalam perjalanan menuju ke laut, Intobu menasehati Impalak.
‘Anakku! Ayah berharap jangan sampai
cuaca buruk seperti ini membuatmu patah semangat untuk pergi melaut, karena
hanya pekerjaan inilah yang menjadi tumpuan hidup kita.”
“Iya, Ayah! Saya mengerti,” jawab
Impalak sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Sesampai di pantai, mereka segera
menaiki sampan yang ditambatkan di tepi pantai. Dengan sekuat tenaga mereka
mendayung sampan menyusuri pantai. Mereka tidak berani sampai ke tengah laut,
karena cuaca sangat buruk. Mereka hanya memancing ikan di sekitar pantai. Tidak
terasa, malam semakin larut. Mereka pun memutuskan untuk kembali ke gubuk.
Setiba di gubuk, beberapa ekor ikan
hasil tangkapannya digoreng untuk lauk dan selebihnya mereka jual pada keesokan
harinya. Ikan-ikan tersebut mereka jajakan dari rumah ke rumah sampai habis
terjual. Setelah semuanya laku terjual, uang hasil penjualan itu mereka
belanjakan untuk membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya. Begitulah pekerjaan
mereka setiap hari yang sudah bertahun-tahun jalani.
Rupanya pekerjaan itu membuat Impalak
menjadi jenuh. Ia ingin pergi merantau ke negeri lain untuk merubah nasib.
Sejak itu, ia selalu murung dan merenung. Ia tidak berani menyampaikan
keinginan itu kepada ayahnya. Selain itu, ia juga belum tega meninggalkan
ayahnya seorang diri. Meskipun tekadnya ingin pergi merantau begitu kuat, ia
tetap berusaha memendamnya dalam hati.
Pada suatu hari, ayahnya sedang sibuk
memperbaiki tali kailnya yang putus. Sementara, Impalak yang duduk di
sampingnya hanya duduk termenung.
“Hei, Impalak! Kenapa wajahmu murung
seperti itu? Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?” tanya Intobu kepada anaknya.
“Tidak apa-apa, Ayah!” jawab Impalak
dengan nada lemah.
“Bicaralah, Nak! Tidak usah kamu pendam
dalam hati!” desak ayahnya.
Oleh karena terus didesak, akhirnya
Impalak berterus terang kepada ayahnya.
“Maafkan saya, Ayah! Sebenarnya saya
sudah jenuh menjadi nelayan. Walaupun setiap hari kita ke laut, tapi hasil yang
kita peroleh hanya cukup untuk dimakan,” keluh Impalak kepada ayahnya.
“Jika Ayah mengizinkan, Impalak ingin
pergi merantau ke negeri lain untuk mengubah nasib kita,” sambung Impalak.
Intobu terkejut mendengar permintaan
anak semata wayangnya itu.
“Bagaimana dengan nasib Ayahmu ini, Nak?
Umur Ayah sudah semakin tua. Jika kamu pergi, tidak ada lagi yang membantu Ayah
untuk mendayung sampan,” kata Intobu mengiba kepada anaknya.
“Saya mengerti, Ayah! Tapi, saya
sekarang sudah dewasa. Sudah saatnya saya membahagiakan Ayah. Jika Ayah pergi
melaut, sebaiknya tidak perlu pergi jauh-jauh. Biarlah saya yang bekerja keras
mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kita dan demi masa depan saya,” jelas
Impalak meyakinkan ayahnya.
Mendengar penjelasan anaknya itu, Intobu
terdiam sejenak. Ia berpikir bahwa apa yang dikatakan anaknya itu memang benar.
Jika hanya menjadi nelayan, kehidupan anaknya di masa depan tidak akan makmur.
“Baiklah, Nak! Meskipun dengan berat
hati, Ayah mengizinkanmu pergi merantau. Tetapi, kamu jangan lupakan Ayah dan
cepatlah kembali! Ayah khawatir tidak akan bertemu kamu lagi, apalagi umur Ayah
sudah semakin tua,” kata Intobu dengan perasaan cemas.
“Baik, Ayah! Saya akan selalu mengingat
pesan Ayah,” jawab Impalak dengan perasaan gembira.
Setelah mendapat izin dari ayahnya,
Impalak segera ke pelabuhan untuk melihat apakah ada perahu bagga yang sedang
berlabuh. Sesampai di pelabuhan, tampaklah sebuah perahu bagga sedang
menurunkan muatan. Perahu itulah yang rencananya akan ditumpangi Impalak pergi
merantau. Ia pun segera menemui pemilik perahu bagga itu.
“Permisi, Tuan! Bolehkah saya ikut
berlayar bersama Tuan?” tanya Impalak tanpa rasa segan.
“Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan kenapa
hendak ikut berlayar bersamaku?” tanya pemilik perahu.
“Saya Impalak, Tuan! Saya ingin pergi
merantau untuk mengubah nasib keluarga saya,” jawab Impalak.
“Memang apa pekerjaannya orang tuamu?”
tanya pemilik perahu.
“Ayah saya seorang nelayan biasa,
sedangkan ibu saya sudah meninggal saat saya masih kecil. Setiap hari saya
membantu ayah memancing ikan di laut. Akan tetapi, hasilnya hanya cukup untuk
di makan sehari-hari. Makanya saya ingin pergi merantau untuk mencari nafkah
yang lebih baik,” jelas Impalak.
Mendengar penjelasan itu, pemilik perahu
itu pun tersentuh hatinya ingin menolong Impalak dan bersedia membawanya ikut berlayar.
“Kamu memang anak yang berbakti,
Impalak! Besok pagi kita akan berlayar bersama. Tapi, apakah kamu sudah meminta
izin kepada ayahmu?” tanya pemilik perahu.
“Saya sudah mendapat izin dari ayah
saya, Tuan!” jawab Impalak.
“Baiklah, kalau begitu! Saya tunggu kamu
besok pagi,” kata pemilik perahu itu.
“Terima kasih, Tuan!” ucap Impalak
seraya berpamitan pulang.
Sesampai di gubuk, Impalak segera
menyampaikan berita gembira itu kepada Ayahnya.
“Ayah, saya sudah menghadap kepada
pemilik perahu bagga.Dia bersedia mengajak saya berlayar bersamanya,” lapor
Impalak kepada ayahnya dengan perasaan gembira.
“Ya, syukurlah kalau begitu, Nak! Nanti
malam siapkanlah segala keperluan yang akan kamu bawa!” seru ayahnya sambil
tersenyum pilu.
Keesokan paginya, Impalak sudah siap
untuk berangkat. Ia diantar oleh ayahnya ke pelabuhan. Sesampai di pelabuhan,
perahu bagga yang akan ditumpangi tidak lama lagi akan berangkat. Tampak si
pemilik perahu berdiri di atas anjungan berteriak memanggil Impalak.
“Impalak...! Ayo cepat...! Perahunya
sebentar lagi berangkat...”
“Baik, Tuan!” jawab Impalak seraya
berpamitan kepada ayahnya.
“Ayah! Saya harus berangkat sekarang,
jaga diri Ayah baik-baik!”
“Iya, Nak! Jangan lupakan Ayah, Nak!”
“Baik, Ayah! Saya akan selalu ingat
pesan Ayah,” kata Impalak sambil mencium tangan ayahnya.
Suasana haru pun menyelimuti hati ayah
dan anak itu. Tidak terasa, Impalak meneteskan air mata. Demikian pula sang
Ayah, air matanya berlinang tidak kuat menahan rasa haru.
“Impalak...! Ayo kita berangkat!”
terdengar lagi teriakan pemilik perahu memanggil Impalak.
“Ayah, saya berangkat dulu,” jawab
Impalak kemudian bergegas menuju ke perahu bagga.
“Kalau sudah berhasil cepat pulang ya,
Nak!” teriak sang Ayah sambil melayangkan pandangannya ke arah Impalak yang
sedang berlari menuju ke perahu bagga.
Tidak berapa lama, Impalak sudah tampak
berdiri di anjungan bersama pemilik perahu sambil melambaikan tangan. Sang Ayah
pun membalas lambaian tangan anaknya sambil meneteskan air mata. Beberapa saat
kemudian, berangkatlah perahu bagga itu. Setelah perahu bagga menghilang dari
pandangannya, Intobu pun bergegas pulang ke gubuknya. Sejak kepergian anaknya,
Intobu menjalani hari-harinya seorang diri sebagai nelayan.
Tidak terasa, sudah beberapa tahun
Impalak merantau di negeri orang. Namun, ia tidak pernah memberi kabar kepada
ayahnya. Hal itulah yang membuat ayahnya selalu gelisah menanti kedatangannya.
Setiap ada perahu bagga yang berlabuh di pelabuhan, sang Ayah selalu berharap
anak kesayangannya datang membawa rezeki, namun harapan itu tidak pernah
terwujud.
Pada suatu hari, ayah Impalak mencari
ikan di sekitar pelabuhan dengan menggunakan sampan. Tiba-tiba dari kejauhan,
ia melihat sebuah perahu bagga hendak berlabuh di pelabuhan.
“Kenapa jantungku berdebar-debar begini?
Jangan-jangan anakku ada di perahu bagga itu? Ah, tidak mungkin. Impalak
benar-benar sudah melupakan aku,” ucap ayah Impalak berusaha menepis
pikiran-pikiran itu.
Semakin lama perahu bagga itu semakin
dekat dan semakin tampak jelas. Jantung ayah Impalak pun berdetak semakin
kencang. Ketika perahu bagga itu melintas tidak jauh dari tempatnya memancing
ikan, tiba-tiba ia melihat soeorang pemuda gagah bersama seorang wanita cantik
berdiri di haluan perahu bagga. Keduanya adalah Impalak dan istrinya. Ternyata,
selama berada di rantauan Impalak berhasil menjadi orang kaya dan beristri
wanita cantik.
Oleh karena yakin bahwa pemuda itu
adalah anaknya, tiba-tiba sang Ayah berteriak.
“Impalaaak....Anakku! Ini aku ayahmu!”
Impalak tahu bahwa lelaki tua yang
memanggilnya itu adalah ayahnya. Namun karena malu kepada istrinya, ia
berpura-pura tidak mendengar teriakan itu.
“Bang! Sepertinya orang itu memanggil
nama Abang. Apakah dia itu ayah Abang?” tanya istrinya setelah mendengar
teriakan lelaki tua itu.
“Bukan! Abang tidak mempunyai ayah
sejelek lelaki tua itu,” jawab Impalak dengan kesal sambil memalingkan
wajahnya.
“Tapi, bukankah orang tua itu mengaku
kalau Abang adalah anaknya?” tanya istri Impalak.
“Dia itu hanya mengada-ada,” jawab
Impalak dengan ketus.
“Sudahlah, Dik! Tidak usah hiraukan
orang gila itu!” tambah Impalak.
Mendengar ucapan itu, istri Impalak pun
langsung diam. Ia tidak ingin bertanya lagi tentang lelaki tua itu. Ia
berpikir, barangkali suaminya benar bahwa lelaki tua itu adalah orang gila yang
mengaku sebagai ayah dari suaminya.
Sementara ayah Impalak dengan sekuat
tenaga terus mendayung sampannya mengejar perahu bagga yang ditumpangi Impalak.
Ketika akan sampai di pelabuhan, tiba-tiba angin bertiup kencang. Sampan yang
ditumpangi ayah Impalak terombang-ambing oleh gelombang besar. Ayah Impalak
tidak sanggup lagi mengendalikan sampannya.
“Toloonng... ! Tolooong... aku Impalak!”
teriak ayah Impalak meminta tolong.
Namun, malang nasibnya bagi lelaki tua
itu. Impalak yang berada di atas perahu bagga itu justru tertawa terbahak-bahak
melihatnya diombang-ambing gelombang laut.
“Ha..ha..ha...!!! Rasakanlah itu orang
gila!”
Walaupun ayah Impalak berkali-kali
berteriak meminta tolong, Impalak tetap tidak memperdulikannya. Perahu yang
ditumpangi Impalak justru semakin menjauhinya. Hati lelaki tua itu hancur
karena diabaikan oleh anak kandungnya sendiri. Ia sudah tidak tahan lagi
melihat perilaku anaknya yang sudah tidak menaruh belas kasihan lagi kepadanya.
Dengan mengangkat kedua tangannya, lelaki tua itu berdoa kepada Tuhan.
“Ya Tuhan! Hukumlah anak Hamba yang
durhaka itu! Kutuklah perahu bagga yang ditumpanginya itu menjadi batu!”
Beberapa saat kemudian, angin bertiup
dengan kencang, ombak laut bergulung-gulung menghantam perahu Impalak sehingga
terdampar di pantai. Seketika itu pula, perahu bagga dan Impalak menjelma
menjadi batu. Oleh masyarakat setempat batu itu kemudian diberi nama Batu
Bagga.
* * *
Demikianlah cerita Legenda Batu Bagga
dari Sulawesi Tengah, Indonesia. Cerita legenda di atas mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah
akibat yang ditimbulkan dari sifat durhaka terhadap kedua orang tua. Sifat ini
tercermin pada perilaku Impalak yang tidak mau mengakui ayah kandungnya yang
miskin itu. Akibatnya, ia pun dikutuk oleh Tuhan menjadi batu. Dari sini dapat
kita pahami bahwa harta benda dapat membutakan hati seseorang, sehingga orang
tua sendiri pun dapat diabaikan. Pelajaran lain yang dapat diambil dari cerita
di atas adalah bahwa doa orang tua yang disia-siakan akan dikabulkan oleh
Tuhan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau
ibu bapak engkau abaikan,
disitulah
tempat murka Tuhan
siapa durhaka ke ibu bapak,
celaka menimpa tertimpa balak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar