DONGENG MANUSIA JADI BUAYA
Dirta,seorang
lelaki itu semakin hari semakin menderita setelah ditinggal anak perempuannya.
Anaknya yang baru berusia lima tahun itu merenggut ajal di pinggir sungai
Cipunagara dan belum ditemukan akibat tenggelam.Bermula dari kemarau panjang,
menjelang akhir tahun. Karena kondisi perekonomian yang sulit, banyak warga
yang terpaksa makan nasi aking. Kejahatan pun semakin merebak di berbagai
perkampungan penduduk.Banyak sekali laporan kriminal namun kasus kematian anak
perempuan itu menjadi sorotan warga. Warga
desa pun menyisir sungai tetapi tidak mendapat hasil.Akhirnya ada usul unutuk
memanggil pawang buaya.
Memang
bila musim kemarau, airnya dangkal hanya sebatas lutut hingga perut orang
dewasa. Tetapi ada lokasi-lokasi tertentu yang dipercaya masyarakat di sekitar
Cipunagara menyebutnya Kedung (lubang besar dibawah air) yang cukup dalam.
Tempat ini adalah lokasi bersemayam makhluk halus, penunggu atau penghuni
kerajaan siluman air sungai Cipunagara.
Setelah
Ashar, pawang buaya yang ditunggu akhirnya datang.Dirta pun meceritakan yang
terjadi.Sesekali pria setengah baya bertubuh kecil yang dipanggil Abah itu
manggut-manggut, dengan mulut komat-kamit dan matanya dipejamkan beberapa saat.Abah
pun berkata bahwa anak Dirta sudah berada di tempat yang aman, makan dan minum
disediaakan tepatnya sang anak berada di Alam Lelembut Kerajaan Kedung
Cipunagara.
Dirta pun tetap berusaha bertanya adakah
cara untuk mengembalikkan anaknya.Abah berkata bisa dan meminta Dirta dan satu
aparat desa untuk bersama datang ke Kerajaan Kedung Cipunagara.Namun ia berkata
satu syarat kepada Dirta bahwa apapun
yang ada di depan matanya harus diakui ketika berada di sana.Setelah semua
siap,mereka berangkat menuju sungai Cipunagara. Warga mengikuti dari belakang,
ingin menyaksikan apa yang akan terjadi
Abah
menyuruh yang lain agar menunggu saja di bibir sungai. Sementara mereka bertiga
disuruh turun ke air. Sang pawang berada di tengah memegang erat tangan Dirta
dan satu aparat desa tersebut.
Mereka
diminta menghadap ke tengah sungai lalu memejamkan mata, dan diminta jangan
sekali-kali membukanya dan menengok ke belakang sebelum ada perintah dari Abah.
Setelahbeberapa lama berlalu, terdengar Abah berucap agar segera membuka mata.
Aneh, saat membuka mata, yang di hadapan
bukan lagi air sungai Cipunagara, melainkan jalan lurus dengan bunga-bunga
tumbuh di sampingnya. Indah sekali. Rumah-rumah berderet tertata rapi, bersih
tidak ada sampah.
Sepanjang
mereka tidak henti-hentinya berdecak kagum di dalam hati menyaksikan keanehan
dan keindahan yang tampak di depan mata.Mereka juga berpapasan dengan sejumlah penduduk yang
ramah-ramah, selalu mengangguk dan tersenyum saat berpapasan dijalan.Uniknya,
pakaian yang dikenakan sama warnanya, hitam. Kepala mereka juga memakai ikat
warna hitam pula, baik perempuan maupun laki-laki.
Mereka
berjalan agak sedikit di pelan ketika melihat di depan ada sepasang gapura
dengan dua penjaga memegang tombak dan perisai di tangannya yang kekar berotot.
Pakaiannya seperti pakaian wayang . Kelihatannya galak dan berwibawa dengan
rambut gimbal sepunggung.
“Sampurasun,Gusti Punggawa!” ucap Abah memberi
salam sambil membungkukan badan kepada kedua penjaga pintu gerbang.
“Rampes, Abah. Ada perlu apa Abah ke sini?”
jawab salah seorang punggawa dengan suara menggema, yang sepertinya sudah
mengenal Abah
Abah pun
menyampaikan tujuannya datang dan mereka bertiga dipersilakan memasuki ruangan.Di
kursi yang mewah dan antik, duduk seorang yang dihormati oleh bangsanya. Sosok
yang kharismatik berwibawa dengan pakaian kebesaran yang bergemerlapan emas
permata menyapa mereka.
“Selamat datang di negeri kami. Ada apa
gerangan Abah dan rekan-rekan sudi datang ke negeri kami ini?” tanya sang raja.
Abah pun sembah
sujud dahulu kepada Raja lalu menanyakan perkara anak Dirta tersebut.
“Begitulah maksud kedatangan hambar ke sini,
ingin menanyakan apakah anaknya Dirta ada disini, Paduka? Dan sekalian dengan
ijin paduka kami ingin membawa pulang kembali” Ucapku dengan tutur bahasa yang
lemah lembuh supaya jangan ada yang tersinggung.
Sebelum
membahas mengenai anak perempuan Dirta, sang raja melemparkan pertanyaan ke
para patih yang hadir saat itu dengan suara yang nyaring.
“Wahai para patih, apakah ada di antara kalian
yang berani-beraninya mengganggu anak manusia?” Teriaknya menggema mengisi
ruangan paseban.
“Ampun gusti, hamba yang hadir di ruangan ini
tidak berani melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh paduka raja, bahwa
rakyat kerajaan Keduan Cipunagara dilarang mengusik apalagi membawa bangsa
manusia ke negeri ini,” kata salah seorang patih.
“Apakah kalian dengar sendiri apa yang
dikatakan patihku tadi, bukan?” Ucap raja dengan suara rendah.
“Ampun, gusti! Hamba mendengarnya! Hamba
kesini bukan menuduh tetapi hanya bersifat menanyakan semata, hamba tidak menuduh,”
Abah menjelaskan sembari mengangkat kedua tangannya.
“Seperti yang sudah hamba katakan, bahwa
bangsa manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada bangsa kawula dan
sudah menjadi ketetapan bangsa kawula selama ribuan tahun bahwa nenek moyang
bangsa kawula melarang keras mengganggu manusia, apalagi memangsanya. Karena
manusia makhluk yang paling mulia di hadapan Sang Pencipta,” sabda sang raja
disambut anggukan kepala oleh para patih.
Keadaan hening
sejenak di paseban. Semua membisu tidak bersuara.
“Tetapi,Apakah ada laporan dari masyarakat dua
hari yang lalu?” ujar sang raja kepada para patih yang hadir, memecah kehingan.
“Ampun gusti! Hamba hanya menerima laporan
dari warga Pancerkulon yang menangkap seekor anak kambing karena mengganggu
tanaman sayuran dan sekarang anak kambing itu sudah ditangkap lalu hamba simpan
di istana,” ucap salah satu patih memberitahukan kepada rajanya.
“Apakah
itu milikmu, Dirta?” tanya sang raja.
“Ampun gusti. Hamba orang miskin, hamba tidak
punya kambing” ,jawab Dirta.
Mendengar
jawaban Dirta seperti itu,Abah kesal.Mengapa dia tidak mendengar nasihatnya,
apa yang dilihat atau dikatakan harus diakui apapun bentuknya.Mereka bertiga
akhirnya pamitan pulang.Mereka menutup mata, ketika kami disuruh membuka mata
kembali, sudah berada dipinggir sungai Cipunagara dengan air sebatas lutut.
“Dunia kita dengan dunia siluman buaya sangat
berbeda. Tidak sama seperti manusia melihat manusia. Kalau wujud asli buaya
tampak di permukaan air memangsa manusia, kemudian menyeretnya ke dalam air,
itu yang dilihat buaya bukan wujud manusia lagi, tetapi bisa kambing, babi,
atau hewan-hewan lainnya.Begitu pula sebaliknya pada manusia, apabila hanya
dilihat dengan dua mata kita wujud mereka adalah buaya. Akan tetapi apabila
manusia melihatnya dengan mata batin akan timbul keakraban sesama makhluk ciptaan
yang Maha Kuasa.” kata Abah.
Enam
bulan sudah Dirta menanti penantian yang sia-sia di pinggir sungai Cipunagara,
anaknya datang hanya didalam mimpi dan memberi senyuman.
“Bapak aku tidak jauh darimu. Tengoklah anakmu
menjelang maghrib di Cipunagara. Pasti ada!” Pesannya.
Batinnya
terpukul waktu pertama kali menjalankan pesan mimpinya. Di hadapannya ada
sesuatu yang besar dan panjang sedang menantinya. Dia tak lebih seekor buaya.
Buaya itu menghilang masuk ke air
Tidak ada komentar:
Posting Komentar