Kamis, 21 April 2016

DONGENG PUTRA MANUSIA JADI BUAYA



DONGENG MANUSIA JADI BUAYA
Dirta,seorang lelaki itu semakin hari semakin menderita setelah ditinggal anak perempuannya. Anaknya yang baru berusia lima tahun itu merenggut ajal di pinggir sungai Cipunagara dan belum ditemukan akibat tenggelam.Bermula dari kemarau panjang, menjelang akhir tahun. Karena kondisi perekonomian yang sulit, banyak warga yang terpaksa makan nasi aking. Kejahatan pun semakin merebak di berbagai perkampungan penduduk.Banyak sekali laporan kriminal namun kasus kematian anak perempuan itu menjadi sorotan warga.   Warga desa pun menyisir sungai tetapi tidak mendapat hasil.Akhirnya ada usul unutuk memanggil pawang buaya.
Memang bila musim kemarau, airnya dangkal hanya sebatas lutut hingga perut orang dewasa. Tetapi ada lokasi-lokasi tertentu yang dipercaya masyarakat di sekitar Cipunagara menyebutnya Kedung (lubang besar dibawah air) yang cukup dalam. Tempat ini adalah lokasi bersemayam makhluk halus, penunggu atau penghuni kerajaan siluman air sungai Cipunagara.
Setelah Ashar, pawang buaya yang ditunggu akhirnya datang.Dirta pun meceritakan yang terjadi.Sesekali pria setengah baya bertubuh kecil yang dipanggil Abah itu manggut-manggut, dengan mulut komat-kamit dan matanya dipejamkan beberapa saat.Abah pun berkata bahwa anak Dirta sudah berada di tempat yang aman, makan dan minum disediaakan tepatnya sang anak berada di Alam Lelembut Kerajaan Kedung Cipunagara.
        Dirta pun tetap berusaha bertanya adakah cara untuk mengembalikkan anaknya.Abah berkata bisa dan meminta Dirta dan satu aparat  desa untuk bersama datang ke  Kerajaan Kedung Cipunagara.Namun ia berkata satu syarat kepada Dirta bahwa  apapun yang ada di depan matanya harus diakui ketika berada di sana.Setelah semua siap,mereka berangkat menuju sungai Cipunagara. Warga mengikuti dari belakang, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi
Abah menyuruh yang lain agar menunggu saja di bibir sungai. Sementara mereka bertiga disuruh turun ke air. Sang pawang berada di tengah memegang erat tangan Dirta dan satu aparat desa tersebut.
Mereka diminta menghadap ke tengah sungai lalu memejamkan mata, dan diminta jangan sekali-kali membukanya dan menengok ke belakang sebelum ada perintah dari Abah. Setelahbeberapa lama berlalu, terdengar Abah berucap agar segera membuka mata. Aneh, saat  membuka mata, yang di hadapan bukan lagi air sungai Cipunagara, melainkan jalan lurus dengan bunga-bunga tumbuh di sampingnya. Indah sekali. Rumah-rumah berderet tertata rapi, bersih tidak ada sampah.
Sepanjang mereka tidak henti-hentinya berdecak kagum di dalam hati menyaksikan keanehan dan keindahan yang tampak di depan mata.Mereka  juga berpapasan dengan sejumlah penduduk yang ramah-ramah, selalu mengangguk dan tersenyum saat berpapasan dijalan.Uniknya, pakaian yang dikenakan sama warnanya, hitam. Kepala mereka juga memakai ikat warna hitam pula, baik perempuan maupun laki-laki.
Mereka berjalan agak sedikit di pelan ketika melihat di depan ada sepasang gapura dengan dua penjaga memegang tombak dan perisai di tangannya yang kekar berotot. Pakaiannya seperti pakaian wayang . Kelihatannya galak dan berwibawa dengan rambut gimbal sepunggung.

“Sampurasun,Gusti Punggawa!” ucap Abah memberi salam sambil membungkukan badan kepada kedua penjaga pintu gerbang.

“Rampes, Abah. Ada perlu apa Abah ke sini?” jawab salah seorang punggawa dengan suara menggema, yang sepertinya sudah mengenal Abah

Abah pun menyampaikan tujuannya datang dan mereka bertiga dipersilakan memasuki ruangan.Di kursi yang mewah dan antik, duduk seorang yang dihormati oleh bangsanya. Sosok yang kharismatik berwibawa dengan pakaian kebesaran yang bergemerlapan emas permata menyapa mereka.

“Selamat datang di negeri kami. Ada apa gerangan Abah dan rekan-rekan sudi datang ke negeri kami ini?” tanya sang raja.
                     
Abah pun sembah sujud dahulu kepada Raja lalu menanyakan perkara anak Dirta tersebut.

“Begitulah maksud kedatangan hambar ke sini, ingin menanyakan apakah anaknya Dirta ada disini, Paduka? Dan sekalian dengan ijin paduka kami ingin membawa pulang kembali” Ucapku dengan tutur bahasa yang lemah lembuh supaya jangan ada yang tersinggung.

Sebelum membahas mengenai anak perempuan Dirta, sang raja melemparkan pertanyaan ke para patih yang hadir saat itu dengan suara yang nyaring.

“Wahai para patih, apakah ada di antara kalian yang berani-beraninya mengganggu anak manusia?” Teriaknya menggema mengisi ruangan paseban.

“Ampun gusti, hamba yang hadir di ruangan ini tidak berani melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh paduka raja, bahwa rakyat kerajaan Keduan Cipunagara dilarang mengusik apalagi membawa bangsa manusia ke negeri ini,” kata salah seorang patih.

“Apakah kalian dengar sendiri apa yang dikatakan patihku tadi, bukan?” Ucap raja dengan suara rendah.

“Ampun, gusti! Hamba mendengarnya! Hamba kesini bukan menuduh tetapi hanya bersifat menanyakan semata, hamba tidak menuduh,” Abah menjelaskan sembari mengangkat kedua tangannya.

“Seperti yang sudah hamba katakan, bahwa bangsa manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada bangsa kawula dan sudah menjadi ketetapan bangsa kawula selama ribuan tahun bahwa nenek moyang bangsa kawula melarang keras mengganggu manusia, apalagi memangsanya. Karena manusia makhluk yang paling mulia di hadapan Sang Pencipta,” sabda sang raja disambut anggukan kepala oleh para patih.

Keadaan hening sejenak di paseban. Semua membisu tidak bersuara.

“Tetapi,Apakah ada laporan dari masyarakat dua hari yang lalu?” ujar sang raja kepada para patih yang hadir, memecah kehingan.

“Ampun gusti! Hamba hanya menerima laporan dari warga Pancerkulon yang menangkap seekor anak kambing karena mengganggu tanaman sayuran dan sekarang anak kambing itu sudah ditangkap lalu hamba simpan di istana,” ucap salah satu patih memberitahukan kepada rajanya.

“Apakah itu milikmu, Dirta?” tanya sang raja.

“Ampun gusti. Hamba orang miskin, hamba tidak punya kambing” ,jawab Dirta.

Mendengar jawaban Dirta seperti itu,Abah kesal.Mengapa dia tidak mendengar nasihatnya, apa yang dilihat atau dikatakan harus diakui apapun bentuknya.Mereka bertiga akhirnya pamitan pulang.Mereka menutup mata, ketika kami disuruh membuka mata kembali, sudah berada dipinggir sungai Cipunagara dengan air sebatas lutut.

“Dunia kita dengan dunia siluman buaya sangat berbeda. Tidak sama seperti manusia melihat manusia. Kalau wujud asli buaya tampak di permukaan air memangsa manusia, kemudian menyeretnya ke dalam air, itu yang dilihat buaya bukan wujud manusia lagi, tetapi bisa kambing, babi, atau hewan-hewan lainnya.Begitu pula sebaliknya pada manusia, apabila hanya dilihat dengan dua mata kita wujud mereka adalah buaya. Akan tetapi apabila manusia melihatnya dengan mata batin akan timbul keakraban sesama makhluk ciptaan yang Maha Kuasa.” kata Abah.
Enam bulan sudah Dirta menanti penantian yang sia-sia di pinggir sungai Cipunagara, anaknya datang hanya didalam mimpi dan memberi senyuman.

“Bapak aku tidak jauh darimu. Tengoklah anakmu menjelang maghrib di Cipunagara. Pasti ada!” Pesannya.

Batinnya terpukul waktu pertama kali menjalankan pesan mimpinya. Di hadapannya ada sesuatu yang besar dan panjang sedang menantinya. Dia tak lebih seekor buaya. Buaya itu menghilang masuk ke air

Tidak ada komentar:

Posting Komentar