DONGENG NYAI SUBANG LARANG
Nhay (Nyai) Subang Larang adalah putri dari Ki Gedeng Tapa, seorang
mangkubumi dari Nagari Singapura, dari Nhay Ratu Karanjang (putri Ki Gedeng
Kasmaya penguasa Wanagiri, yang masih saudara dari Prabu Anggalarang).. Carita
Purwaka Caruban Nagari mengisahkan bahwa Subang Larang adalah salah satu istri
dari Raden Pamanah Rasa yang kelak marak menjadi Raja Pajajaran.
Ayah Subang Larang adalah Ki Gedeng Tapa, mangkubumi di Singapura. Nagari
Singapura merupakan pecahan Nagari Wanagiri Besar yang dirajai Prabu
Indraprahasta, termasuk kekuasaan Galuh. Ibunya bernama Nhay Ratu Karanjang,
putri Ki Gedeng Kasmaya penguasa Wanagiri, yang masih saudara dari Prabu
Anggalarang. Oleh penguasa Surantaka Ki Gedeng Surawijaya Sakti, Ki Gedeng Tapa
alias Ki Gedeng Juman Janti diangkat menjadi syahbandar pelabuhan Muara Jati.
Datanglah rombongan
armada Cina yang dipimpin Laksamana Zheng He (Cheng Ho) dan Kun Wei Ping tiba
di Muara Jati dalam jumlah prajurit 27 ribu dengan kapal-kapal yang sangat
besar sebanyak 63. Mereka singgah di Muara Jati karena hendak membeli
perbelakan untuk melanjutkan perjalanan “muhibah”-nya ke Majapahit. Di sinilah,
Ma Huan, sekretaris Zheng He, menikah dengan Nhay Rara Ruda, saudara Ki Gedeng
Tapa. Singapura ketika itu dipimpin oleh Ki Gedeng Surawijaya Sakti, saudara Ki
Gedeng Sindang Kasih. Ada pun kakak Ki Gedeng Surawijaya, yakni Ki Gedeng
Kasmaya adalah penguasa Nagari Wanagiri yang mertua Ki Gedeng Tapa dan kakek
Subang Larang. Di Muara Jati ini, Ma Huan memunyai nama batu, Ki Dampu Awang.
Pada 1416, Nhay Subang
Larang yang berusia 12 tahun, bersama Ki Dampu Awang, Nhay Rara Ruda (istri
Dampu Awang, saudara Ki Gedeng Tapa), dan Nhay Aci Putih (putri Dampu
Awang-Rara Ruda) pergi berlayar ke Malaka. Mereka berada di Malaka selama 2
tahun, lalu kembali ke Muara Jati tahun 1418.
Bertepatan dengan kedatangan Subang Larang, tiba pula seorang ulama Islam
bernama Syekh Hasanuddin bin Yusuf Sidik yang menumpang perahu dagang dari
Campa (kini termasuk wilayah Vietnam dan sebagian Kamboja). Syekh Hasanuddin
pun kemudian akrab dengan Ki Gedeng Tapa, syahbandar Muara Jati. Mungkin, saat
inilah Ki Gedeng Tapa memutuskan untuk memeluk Islam.
Kegiatan penyebaran Islam oleh Syekh Hasanuddin sangat mencemaskan penguasa
Galuh (di Kawali, Ciamis) yakni Prabu Angga Larang alias Prabu Dewata Niskala,
putra Niskala Wastukancana, cucu Prabu Linggabhuwana yang gugur di Bubat. Sang
Prabu diminta agar penyebaran agama tersebut dihentikan. Oleh Syekh Hasanuddin
perintah itu dipatuhi. Kepada utusan yang datang kepadanya ia mengingatkan,
bahwa meski dakwah itu dilarang, namun kelak keturunan Prabu Angga Larang akan
ada yang menjadi seorang waliyullah. Kemudian Syekh Hasanuddin mohon diri
kepada Ki Gedeng Tapa untuk pergi ke Karawang. Sebagai sahabat, Ki Gedeng Tapa
cukup prihatin atas peristiwa yang menimpa ulama besar itu, sebab ia pun
sebenarnya masih ingin menambah pengetahuannya tentang Islam. Oleh karena itu,
sewaktu Syekh Hasanuddin hendak ke Karawang, putrinya Subang Larang dititipkan
ikut bersama ulama besar ini untuk belajar Islam di Malaka.
Perjalanan pun
dimulai. Setelah memasuki Laut Jawa, kemudian rombongan memasuki muara Sungai
Citarum yang ramai dilayari oleh perahu para pedagang yang memasuki wilayah
Pajajaran. Selesai menyusuri Sungai Citarum akhirnya rombongan perahu singgah
di Pura Dalem di Pelabuhan Karawang. Kedatangan rombongan ulama besar ini
disambut baik oleh petugas Pelabuhan Karawang dan diizinkan untuk mendirikan
musola untuk belajar mengaji dan tempat tinggal. Syekh Hasanudin yang menganut
Mazhab Hanafi, menamai pesantren yang terletak di Pura, Desa Talagasari,
Karawang, tersebut sebagai Pesantren Quro—maka itu ia lebih dikenal dengan nama
Syekh Quro. Subang Larang belajar di situ selama dua tahun. Tahun 1420 ia
kembali ke kampung halamannya di Singapura.
Pada tahun 1420 ini
pun, datang seorang ulama dari Baghdad bernama Syekh Datik Kahfi alias Syekh
Idofi bersama pengiringnya yang berjumlah 12 orang, yang terdiri atas 10 pria,
2 wanita. Syekh ini pun lalu berteman baik dengan Ki Gedeng Tapa. Permintaan
Syekh Datuk Kahfi untuk menetap di Pasambangan yang terletak dekat Muara Jati,
direstui oleh Ki Gedeng Tapa. Di tahun selanjutnya, Syekh Datuk Kahfi memiliki
nama lain, yaitu Syekh Nurul Jati. Ia menetap di sini hingga akhir hayatnya dan
dimakamkan di Giri Amparan Jati atau Gunung Jati.
Menikah dengan raden
pamanah rasa
Berita tentang dakwah
Syeh Hasanuddin di pelabuhan Karawang rupanya terdengar kembali oleh Prabu
Angga Larang, yang dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang
sama di pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Sang Prabu segera mengirimkan utusan
yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk
menutup Pesantren Syekh Quro. Tatkala Pamanah Rasa tiba di tempat tujuan, ia
disuruh oleh Syekh Quro untuk pergi ke Singapura menemui Ki Gedeng Tapa.
Tiba di Singapura pada
1422, Pamanah Rasa mendengar ada sayembara yang diselenggarakan di Nagari
Surantaka. Hadiahnya: seorang gadis bernama Subang Larang yang konon cantik.
Singkat cerita, sayembara dimenangkan Pamanah Rasa. Maka terjadilan pernikahan
berbeda agama ini. Konon, pernikahannya dilaksanakan di Pesantren Quro (kini
Mesjid Agung) di mana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulu. Pada tahun
yang sama, Pamanah Rasa pun berhasil mengalahkan Raja Amuk Murugul dari Japura.
Namun tak diketahui, peristiwa mana dulu yang terjadi, apakah sayembara Subang
Larang atau perang melawan Amuk Murugul.
Besar kemungkinan,
setelah menikah, Subang Larang diboyong ke istana Galuh oleh Pamanah rasa.
Baru, setelah Pamanah Rasa dilantik menjadi Raja Pajajaran di Pakuan bergelar
Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Ratu Dewata (tertulis pada
Prasasti Batu Tulis), menggantikan uwaknya sekaligus mertuanya, Susuk Tunggal,
pada 1447 M, maka Subang Larang pun menetap di Pakuan, bersama istri-istri Sang
Prabu yang lain.
Selain beristri Subang
Larang, Raden Pamanah Rasa menikahi pula Nhay Ambet Kasih (Ngabetkasih), putri
Ki Gedeng Sedhang Kasih. Jadi, Ambet Kasih merupakan sepupu Subang Larang
sendiri. Pernikahan ini membuat Ki Gedeng Sedhang Kasih—yang juga paman Pamanah
Rasa—memberikan daerah Sindang Kasih (sekarang termasuk Kecamatan Beber, Cirebon)
kepada Raden Pamanah Rasa. Sindang Kasih ini terletak 15 km arah selatan dari
Surantaka. Kemungkinan besar, Nagari Surantaka disatukan ke dalam wilayah
Singapura oleh Pamanah Rasa.
Menurut CPCN, Prabu
Siliwangi memiliki istri lain bernama Nyai Aciputih, putri Ki Dampu Awang. Yang
menjadi permaisuri Sri Baduga adalah Kentring Manik Mayangsunda, keponakannya
sendiri, putri Susuktunggal. Pernikahannya dengan Kentring Manik membuahkan
putra bernama Surawisesa.
Leluhur raja cirebon
dan bante
Pasangan Sri Baduga –
Subang Larang memiliki tiga orang anak, yakni Walangsungsang, Lara Santang, dan
Raden Sengara. Diperkirakan, ketika putra-putri telah berusia di atas 17 tahun,
Subang Larang meninggal dunia. Tak jelas kapan tahun wafatnya dan di mana ia
dikuburkan. Sementara itu, sang suami yakni Prabu Siliwangi masih hidup.
Setahun setelah ibunya
wafat, Walangsungsang pergi meninggalkan keraton Pakuan, disusul adiknya, Lara
Santang. Dalam perjalanan, Walangsungsang singgah di rumah Ki Gedeng
Danuwarsih, seorang pendeta Buddha. Di sini ia menikah dengan putri Danuwarsih
bernama Nhay Endang Geulis. Lara Santang pun tiba di rumah pendeta ini. Setelah
itu, Walangsungsang, istrinya, dan Lara Santang pergi menuju Singapura dan
berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Pesantren Pasambangan selama 3 tahun. Oleh
Syekh ini, Walangsungsang diberi nama baru: Ki Samadullah. Oleh gurunya
tersebut, Walangsungsang disuruh membuka lahan baru di Kebon Pesisir. Setelah
itu, daerah tersebut bernama Tegal Alang-alang, 6 km timur Pasambangan. Di
Tegal Alang-alang ini telah ada pula penguasanya bernama Ki Danusela alias Ki
Gedeng Alang-alang, adik Ki Gedeng Danuwarsih. Di tempat ini Walangsungsang
diangkat sebagai Pangraksabumi oleh Ki Danusela dan bergelar Ki Cakrabumi. Tak
lama kemudian, ia dan adiknya, Lara Santang disuruh pergi ke Mekah, sementara
istrinya tak ikut karena hamil.
Di Tanah Arab, Lara
Santang kemudian menikah dengan Maulana Sultan Muhammad (Syarif Abdullah),
seorang bangsawan Arab yang berada di wilayah kekuasaan Sultan Mesir. Pernikahan
ini melahirkan dua anak lelaki bernama Syarif Hidayat (Hidayatullah) dan Syarif
Nurullah. Lara Santang pun memiliki nama baru, yaitu Syarifah Mudain. Di sini
Walangsungsang punya nama muslim, Haji Abdullah Iman. Tiba bulan menunaikan
haji, Walangsungsang sendiri pulang ke Jawa. Sementara Lara Santang diam di
Arab.
Tiba di Jawa—setelah
sebelumnya menetap di Campa—Walangsungsang membangun masjid kecil tahun 1456.
Ia lalu diangkat menjadi Kuwu Caruban II, menggantikan Ki Danusela Kuwu Caruban
I. Putri Ki Danusela bernama Nhay Rena Riris pun dinikahinya. Di sini Raden
Walangsungsang memiliki gelar baru: Pangeran Cakrabuana.
Mendengar anaknya
telah kembali dan memiliki kekuasaan di Caruban yang berhasil menggantikan
posisi Singapura, Prabu Siliwangi mengirim utusan yakni Tumenggung
Jagabaya serta Raden Sengara, adik Walangsungsang. Oleh Sang Prabu,
Walangsungsang diberi gelar Pangeran Sri Mangana sekitar tahun 1460. Jelas,
sang ayah tak keberatan dengan adanya nagari baru bernama Caruban Larang. Asal
saja, Cakrabuana tetap harus mengirimkan upeti ke Pajajaran, dan tetap
merupakan bawahan Galuh. Raden Sengara sendiri akhirnya tak kembali ke istana,
sebaliknya ikut menetap di Caruban, dan menikah dengah Nhay Halimah asal Campa
dan ikut masuk Islam.
Syahdan, putra sulung
Lara Santang, yakni Syarif Hidayatullah, meninggalkan Timur Tengah untuk pulang
ke Jawa. Ia menolak untuk menggantikan ayanya sebagai sultan, karena ini
menjadi mubalig di Jawa, kampung halaman ibunya. Sebelum tiba di Cirebon, ia
singgah dulu di Gujarat (India), Samudra Pasai di Sumatra, Banten, dan Ampel
Gading di Jawa bagian timur. Atas hasil sidang para Wali Sanga, maka diputuskan
agar menetap di Cirebon guna islamisasi.
Tibalah Hidayatullah
di Muara Jati/Pasambangan pada tahun 1475. Di sini ia, yang usianya sekitar 27
tahun, mengunjungi Pangeran Cakrabuana, uwaknya. menggantikan Cakrabuana dan
marak menjadi penguasa Cirebon Girang. Di sini ia mendirikan pesantren di Dukuh
Sembung dan Kampung Babadan. Di Babadan ia menikah dengan Nhay Babadan, putri
Ki Gedeng Babadan. Raden Sengara pun dikenal sebagai Kian Santang. Lalu Syarif
Hidayat diutus untuk pergi ke Banten kembali. Penguasa Banten, Bupati
Kawunganten tertarik akan dakwah Islam Syarif Hidayat, lalu memeluk Islam.
Adiknya, Nhay Kawunganten pun dinikahkan dengan Syarif Hidayat. Pernikahan ini
membuahkan dua orang anak: Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingkin.
Tahun 1479, ia kembali
ke Caruban, dan kemudian menggantikan Pangeran Cakrabuana yang telah tua dan
sakit-sakitan. Kebetulan uwaknya ini tak punya keturunan laki-laki, maka
jadilah Syarif Hidayat menjadi penguasa Nagari Caruban. Ia pun bergelar
Tumenggung Susuhunan Jati. Selain itu, Syarif Hidayatullah punya gelar-gelar
lain: Sayid Kamil, Nuruddin Ibrahim, Syekh Maulana Jati, dan Susuhunan Jati
Purba. Pustaka Nagara Kretabhumi menceritakan bahwa pada tanggal 12 bagian
terang, bulan Caitra, tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman
upeti yang seharusnya dibawa setiap tahun ke Pakuan.
Kemudian ada berita:
pasukan Angkatan Laut Demak telah ditempatkan di Pelabuhan Cirebon untuk
menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. Tumenggung Jagabaya beserta
60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui
kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan
gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya lebih besar. Akhirnya Jagabaya menyerah
dan masuk Islam. Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan
besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Namun, pengiriman pasukan itu dapat
dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) Keraton, Ki Purwa Galih. Perang
saudara pun akhirnya dapat dicegah.
Persekutuan
Demak-Cirebon sangat mencemaskan pikiran Sri Baduga di Pakuan. Mungkin pula,
kepindahan ibukota dari Kawali (Galuh) ke Pakuan atas pertimbangan bahwa Kawali
yang dekat dengan Cirebon (yang telah dikuasai Demak sejak 1475) merupakan
target Demak berikutnya untuk menguasai Jawa Barat. Mengingat wilayah Sunda
belum tumbuh menjadi potensi politik Islam yang nyata, Sri Baduga memusatkan
perhatiannya terhadap Selat Sunda sambil mendekati pihak Portugis di Malaka.
Maka, pada tahun 1512 dan 1521, ia mengirimkan misi datang dan persahabatan
kepada Panglima Portugis, Alfonso d’Albuquerque, di Malaka, yang ketika itu
baru saja merebut Samudra Pasai. Dengan dikuasainya Selat Sunda oleh Pajajaran
dan Selat Malaka oleh Portugis, bagi Demak sangat sukar untuk menguasai
perairan di Nusantara. Bagi pihak Demak, jelas upaya Pajajaran ini meresahkan
mereka.
Menurut Carita
Parahyangan, Sri Baduga Maharaja wafat pada 1521 setelah memerintah selama 39
tahun. Ia dipusarakan di Rancamaya, maka itu disebut secara Sang Lumahing (Sang
Mokteng) Rancamaya. Rancamaya terletak kira-kira 7 km di sebelah tenggara Kota
Bogor, di mana Sri Baduga pernah membuat hutan buatan dan telaga. Setelah itu
yang menjadi raja di Pakuan adalah Surawisesa. Pada masa inilah, Pajajaran
banyak kehilangan wilayah kekuasaannya. Dua pelabuhannya berturut-turut jatuh
ke pihak Demak-Cirebon-Banten; tahun 1526 pelabuhan Banten, tahun 1527 Sunda
Kalapa. Pada tahun berikutnya, 1528, peperangan bergeser ke arah timur, di
Rajagaluh, Majalengka. Tahun 1530, terjadi peperangan di Talaga, daerah di mana
salah seorang istri Surawisesa berasal. Sementara Cirebon melanjutkan
serangannya dari Talaga menuju jantung ibukota Galuh dan Galunggung.
Setelah Surawisesa
mangkat, berturut-turut raja di Pakuan silih berganti, dari Ratu Dewata, Ratu
Saksi, hingga Prabu Nilakendra. Pada masa Nilakendra, serangan ke Pakuan pun
dilancarkan oleh pihak Banten pimpinan Panembahan Hasanuddin alias Pangeran
Sabakingkin yang diangkat menjadi sultan Banten tahun 1552 oleh ayahnya, Syarif
Hidayatullah. Pada masa selanjutnya, yang memerintah Pajajaran adalah Ratu
Ragamulya alias Suryakancana, di mana ia tak lagi diam di Pakuan melainkan di
tempat pelarian di Pulasari, Pandeglang. Pada era inilah di tahun 1579, Pakuan
berhasil dimasuki tentara Banten pimpinan Panembahan Maulana Yusuf, meski
istananya tetap tak bisa dijebol karena telah diperkuat dengan parit-parit yang
cukup terjal oleh Sri Baduga dulu.
Pihak Banten yang
merasa berhak atas wilayah Pajajaran segara membawa palangka (singgasana) Sriman
Sriwacana ke Surosowan, ibukota Kesultanan Banten. Sriman Sriwacana, tempat
duduk untuk penobatan takhta ini, ini berukuran 200 x 160 x 20 cm; oleh orang
Banten disebut Watu Gilang (batu mengkilat). Pemboyongan palangka ke Banten ini
bertujuan agar di Pakuan tidak ada lagi penobatan raja baru. Dengan begitu,
Maulana Yusuf berhak mengklaim sebagai penerus Pajajaran. Palangka Sriman
Sriwacana ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten.
Ketika Pajajaran ini
runtuh pada 1579, menurut Kitab Waruga Jagat, saat itulah wilayah Sumedang
Larang pun menyatakan sebagai negara “penerus Pajajaran” dengan Prabu Geusan
Ulun sebagai raja pertamanya. Besar kemungkinan, banyak penghuni Pakuan yang
pindah ke Sumedang; dan sebagian lagi bermigrasi ke Banten mengikuti
kepemimpinan Sultan Banten. Diperkirakan, banyak pengikut dan punggawa
Pajajaran yang pergi dan menetap di daerah Lebak, yang menerapkan tata cara
kehidupan tradisional yang cukup ketat, dan dikenal sebagai orang Baduy.
Keruntuhan Pajajaran ini
ternyata, salah satunya, disebabkan oleh rongrongan mereka yang masih keturunan
raja Pajajaran sendiri. Cirebon dan Banten, dua kerajaan baru dengan ideologi
baru, yakni Islam, telah berhasil mengambil alih kekuasaan politik
Sunda-Pajajaran; dan orang yang paling berperan dalam hal ini adalah Syarif
Hidayatullah, cucu Prabu Siliwangi-Subang Larang, sekaligus pendiri pondasi
Kesultanan Cirebon dan Banten.
Mengenai kisah Prabu
Siliwangi, banyak cerita yang beredar. Menurut sebuah legenda, konon Prabu Siliwangi
pergi meninggalkan keraton Pakuan lalu menuju ke Hutan Sancang di selatan
Garut, setelah dikejar-kejar putranya sendiri yakni Kian Santang agar masuk
Islam. Sang Prabu yang enggan masuk Islam, disertai sejumlah pengikut setianya,
pantang berseteru dengan putranya sendiri dikarenakan hanya masalah keyakinan.
Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, Prabu Siliwangi berubah wujud
(ngahiyang) menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjadi harimau
loreng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar