DONGENG SEJARAH KOTA SOLO
Pada tahun
1741, konon terjadilah keributan di Kartasura, sekitar 15 kilometer dari
Surakarta kearah barat. Orang orang Cina marah akibat perlakuan Belanda kepada mereka.
Kekacauan itu bermula dari Batavia, Jakarta tempo doeloe, yang merembet ke
Cirebon, Semarang, kota-kota lain hingga akhirnya sampai di Kartasura.
Pada waktu
itu, kartasura adalah pusat pemerintahan kerajaan Mataram. Sunan Paku Buwana II
bertahta memegang tampuk kendali kekuasaan. Tatkala keributan itu masih pada
tahap awal, raja berpihak kepada Cina. Namun, karena desakan Belanda
terus-menerus dilakukan dengan berbagai cara, bahkan lewat ancaman tersembunyi
dan berbagai macam teror mental, Paku Buwono II berbalik membantu Kompeni.“Aku
sangat sedih, Patih”, kata beliau kepada Patih Pringgoloyo. “Hamba Maklum.
Tapi, jangan Paduka membiarkan diri menjadi korban kesedihan. Sebaliknya justru
harus bersikap tegas, “jawab Patih. “Bagaimana caranya aku membantu
saudara-saudara kita orang Cina yang diperlakukan dengan sangat tidak senonoh
oleh Kompeni?” Raja bertanya denga nada rendah sambil bertopang dagu. “jangan
membantu mereka. Itulah saran hamba”. Jawab Patih. Sebaliknya, Paduka harus
membantu Kompeni. Sebab, orang-orang Belanda itulah yang akan
menang…,”sambungnya.
Raja
tertegun kurang paham akan nasihat Patih. Kalau aku membantu Kompeni, dimana
sifat seorang Raja yang justru harus melindungi kawulanya dari segala ancaman?”
Raja diam sejenak. Lalu bertanya selanjutnya. “Apakah aku tidak akan kehilangan
kewibawaanku?” “ini bukan soal kewibawaan lagi, tetapi soal keselamatan Paduka
sendiri. Apakah paduka cukup tahan berhadapan dengan ancaman-ancaman dari
Kompeni dengan senjata lengkap seperti itu?” Patih Pringgoloyo balik bertanya.
Sri Sunan Paku Buwono II membayangkan betapa kuatnya pasukan Kumpeni
dibandingkan dengan orang-orang Cina. Terlintas, cepat atau lambat, mereka akan
dikalahkan. Jika kekalahan itu terjadi, ini akan membawa akibat buruk bagi Raja
yang membela mereka. Itu alasan Raja menghentikan dukungannya. Melihat perilaku
demikian, salah seorang putranya, Raden Mas Garendi, kecewa berat dan sangat
tidak suka. Ia bahkan kemudian bergabung dengan orang Cina untuk melawan
Ayahnya. Karena Garendi juga menguasai sejumlah pasukan, keributan itu semakin
berkobar.
Pada tanggal
30 Juni 1742, serangan dilancarkan secara besar-besaran. Tembok keraton sebelah
utara berhasil diruntuhkan. Mereka menyerbu dengan membabi-buta. Dapatlah
dibayangkan bagaimana kacaunya keadaan sebab tidak jauh dari tembok itu adalah
tempat mempersiapkan makanan dan Keputren, tempat para putri tinggal.
Jeritan-jeritan memilukan terdengar akibat ketakutan. Walaupun para pemberontak
tidak memperlakukan putri-putri dengan kasar, karena keadaan sangat kacau dan
tidak terkendali, banyak pula di antara mereka yag terluka oleh senjata
tajam.Pasukan keraton tidak mampu membendung serangan itu sebab, orang-orang
Cina membawa petasan dan membakarnya. Gaung letusan petasan di dalam istana
bagaikan sunyi senjata api. Itulah sebabnya, banyak anggota pasukan keraton
lari terbirit-birit. Mereka mengira para pemberontak membawa senapan
kebingungan juga melanda pasukan Kompeni.
Sementara
pemberontak semakin tidak terkendali, beberapa orang putri berusaja menghadap
Raja. Diantara mereka dalah Dewi Puspaningrum, Wirati, dan Retnowati. Mereka
mengatakan bahwa keraton sudah ditembaki oleh para pemberontak. Kalau Raja
tidak dapat melindungi, mereka akan melarikan diri.“Kamu mau pergi kemana?”
bertanya raja. “tidak tahu. Tapi, kami sangat takut,” jawaba Puspaningrum
dengan suara gemetar.“ini malam hari. Di luarsangat gelap. Siapa yang akan
mengawal kalian?” “Apa boleh buat. Sudah banyakpasukan keraton yang melarikan
diri…” jawab Wirati. Karena keadaan semakin kacau, dengan beberapa pengawal
rendah maka Sri Sunan Paku Buwono II akhirnya meloloskan diri dari keratin
bersama putri-putri itu. Mereka menuju ke arah timur, masuk ke desa Magetan dan
Ponorogo. Di desa ini, beliau mendirikan perkemahan sementara.
Lolosnnya
Sri Sunan Paku Buwono II, membuka jalan bagi Mas Garendi untuk menduduki tahta.
Kemudian, ia mengangkat dirinya sebagai Raja dengan gelar Sunan Kuning atau
Sunan Kencet. Berita tentang munculnya raja baru di kerajaan Kartasura menyebar
ke segala penjuru. Tidak mengherankan jika Sri Sunan Pakub Buwono II juga
mendengar berita itu. Hatinya sangat masgul dan merasa sangat terpukul.
Bagaimana mungkin Mas Garendi, putranya sendiri, sampai hati melakukan hal
itu.Atas desakan beberapa pengawal, dan terutama upaya yang dilakukan oleh
Patih Pringgoloyo dan Kompeni, Sri Sunan Paku Buwono II diminta menyusun
kekuatan untuk merebut Kartasura kembali. Penyerbuan dilakukan dengan bantuan
Kompeni, yang tidak hanya memberikan dukungan tentara dan senjata, tetapi juga nasihat-nasihat
untuk mempercepat menyerahnya Mas Garendi. Sri Sunan Paku Buwono II menyetujui
rencana serangan balik itu, tetapi berpesan agar menjaga jangan sampai jatuh
korban terlalu banyak. Sebab, Mas Garendi dan pendukungnya adalah bagian dari
kelaurganya sendiri; pasukan-pasukan mereka adalah kawula Raja sendiri. Mereka
itu sebenarnya bukan musuh.
Dengan gerak
cepat, tahta akhirnya direbut kembali. Tidak begitu jelas bagaimana dengan
nasib Mas garendi. Yang terang, ketika Sunan Paku Buwono II tiba di istana
Kartasura, sang putra sudah tidak tampak. Namun,. Kembalinya tahta dan mahkota
ke tangan Sunan Paku Buwono II tidak segera membuatnya tenteram. Perasaan was
was terus menghantui. Akhirnya, pada suatu malam, sunan berkenan bersamadi.
Dalam keheningan malam, ia merasakan ada petunjuk dari Sang Maha Pencipta bahwa
keratin memang harus pindah. Ada tiga kemungkinan desa yang dapat dipilih,
yakni Kadipala, desa Sala, atau Sanasewu. Dari tiga tempat itu, desa Sala yang
dipilih. Petunjuk itu juga mengatakan bahwa kelak, keadaan kerajaan akan
mundur. Namun, jika keraton didirikan di desa Sala, walaupun wilayahnya kelak
tinggal selebar payung terbuka, ibaratnya, akan dapat bertahan sepanjang zaman.
Pada pagi
harinya, segera ditunjuklah orang-orang yang ditugasi memeriksa desa Sala.
Diantara mereka adalah pangeran Wijil, Kiai Pekih Ibrahim, Tumenggung
Tirtawiguna, Kiai plonthang dan dipimpin oleh Patih Pringgoloyo. Seorang
tentara Belanda, Mayor Hogendor, mengajukan diri untuk mengikuti pemeriksaan
desa itu. Sebenarnya, wirati tidak setuju dengan masuknya Hogendorp. Sebagai
seorang wanita cerdas, ia tahu kelicikan Belanda. Akan tetapi, pada waktu itu
usul dari seorang wanita kurang mendapat tanggapan layak. Apalagi Wirati masih
dianggap belum cukup dewasa. Oleh Karen itu, Hogendorp tetap diikutsertakan
dalam pemeriksaan desa Sala. Ketika rombongan tiba di desa itu, mereka baru
tahu mengapa desa itu disebut Sala. Adapun sebabnya, di desa itu tumbuh
pepohonan yang oleh penduduk desa disebut pohon Sala. Di samping itu, desa itu
dipimpin oleh seorang tetua yang disebut Kiai Ageng Sala. Tetua ini merupakan
keturunan ketiga. Ayah dan kakeknya juga dikenal dengan nama Kiai Sala.
Setelah
diadakan pembicaraan panjang lebar termasuk bagaimana memindahkan penduduk yang
tinggal di desa itu, akhirnya untuk membuka hutan, meratakan tanah, dan
membangun keraton cukup lama. Berbagai gangguan yang sering terjadi, mialnya
para pekerja tiba tiba mengalami kejang-kejang. Walaupun mungkin akibat suatu
penyakit biasa, pada waktu itu, peristiwa demikian dianggap akibat gangguan
makhluk makhluk halus. Oleh para penasihat Raja dianjurkan untuk mengatasinya,
perlu ada upacara-upacara. Keraton akhirnya dapat didirikan dengan selamat.
Pada saat peresmian, sejumlah undangan hadir, termasuk orang-orang
Belanda. Sri Sunan Paku Buwono II kemudian berkenan mengatakan bahwa mulai
saat itu, wilayah kekuasaan kerajaan disebut Surakarta Hadiningrat yang lebih
dikenal dengan kota Sala. Nama Sala diabadikan dan ditetapkan sebuah ibukota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar