Kamis, 21 April 2016

DONGENG SEJARAH KOTA SOLO



DONGENG SEJARAH KOTA SOLO
Pada tahun 1741, konon terjadilah keributan di Kartasura, sekitar 15 kilometer dari Surakarta kearah barat. Orang orang Cina marah akibat perlakuan Belanda kepada mereka. Kekacauan itu bermula dari Batavia, Jakarta tempo doeloe, yang merembet ke Cirebon, Semarang, kota-kota lain hingga akhirnya sampai di Kartasura.
Pada waktu itu, kartasura adalah pusat pemerintahan kerajaan Mataram. Sunan Paku Buwana II bertahta memegang tampuk kendali kekuasaan. Tatkala keributan itu masih pada tahap awal, raja berpihak kepada Cina. Namun, karena desakan Belanda terus-menerus dilakukan dengan berbagai cara, bahkan lewat ancaman tersembunyi dan berbagai macam teror mental, Paku Buwono II berbalik membantu Kompeni.“Aku sangat sedih, Patih”, kata beliau kepada Patih Pringgoloyo. “Hamba Maklum. Tapi, jangan Paduka membiarkan diri menjadi korban kesedihan. Sebaliknya justru harus bersikap tegas, “jawab Patih. “Bagaimana caranya aku membantu saudara-saudara kita orang Cina yang diperlakukan dengan sangat tidak senonoh oleh Kompeni?” Raja bertanya denga nada rendah sambil bertopang dagu. “jangan membantu mereka. Itulah saran hamba”. Jawab Patih. Sebaliknya, Paduka harus membantu Kompeni. Sebab, orang-orang Belanda itulah yang akan menang…,”sambungnya.
Raja tertegun kurang paham akan nasihat Patih. Kalau aku membantu Kompeni, dimana sifat seorang Raja yang justru harus melindungi kawulanya dari segala ancaman?” Raja diam sejenak. Lalu bertanya selanjutnya. “Apakah aku tidak akan kehilangan kewibawaanku?” “ini bukan soal kewibawaan lagi, tetapi soal keselamatan Paduka sendiri. Apakah paduka cukup tahan berhadapan dengan ancaman-ancaman dari Kompeni dengan senjata lengkap seperti itu?” Patih Pringgoloyo balik bertanya. Sri Sunan Paku Buwono II membayangkan betapa kuatnya pasukan Kumpeni dibandingkan dengan orang-orang Cina. Terlintas, cepat atau lambat, mereka akan dikalahkan. Jika kekalahan itu terjadi, ini akan membawa akibat buruk bagi Raja yang membela mereka. Itu alasan Raja menghentikan dukungannya. Melihat perilaku demikian, salah seorang putranya, Raden Mas Garendi, kecewa berat dan sangat tidak suka. Ia bahkan kemudian bergabung dengan orang Cina untuk melawan Ayahnya. Karena Garendi juga menguasai sejumlah pasukan, keributan itu semakin berkobar.
Pada tanggal 30 Juni 1742, serangan dilancarkan secara besar-besaran. Tembok keraton sebelah utara berhasil diruntuhkan. Mereka menyerbu dengan membabi-buta. Dapatlah dibayangkan bagaimana kacaunya keadaan sebab tidak jauh dari tembok itu adalah tempat mempersiapkan makanan dan Keputren, tempat para putri tinggal. Jeritan-jeritan memilukan terdengar akibat ketakutan. Walaupun para pemberontak tidak memperlakukan putri-putri dengan kasar, karena keadaan sangat kacau dan tidak terkendali, banyak pula di antara mereka yag terluka oleh senjata tajam.Pasukan keraton tidak mampu membendung serangan itu sebab, orang-orang Cina membawa petasan dan membakarnya. Gaung letusan petasan di dalam istana bagaikan sunyi senjata api. Itulah sebabnya, banyak anggota pasukan keraton lari terbirit-birit. Mereka mengira para pemberontak membawa senapan kebingungan juga melanda pasukan Kompeni.
Sementara pemberontak semakin tidak terkendali, beberapa orang putri berusaja menghadap Raja. Diantara mereka dalah Dewi Puspaningrum, Wirati, dan Retnowati. Mereka mengatakan bahwa keraton sudah ditembaki oleh para pemberontak. Kalau Raja tidak dapat melindungi, mereka akan melarikan diri.“Kamu mau pergi kemana?” bertanya raja. “tidak tahu. Tapi, kami sangat takut,” jawaba Puspaningrum dengan suara gemetar.“ini malam hari. Di luarsangat gelap. Siapa yang akan mengawal kalian?” “Apa boleh buat. Sudah banyakpasukan keraton yang melarikan diri…” jawab Wirati. Karena keadaan semakin kacau, dengan beberapa pengawal rendah maka Sri Sunan Paku Buwono II akhirnya meloloskan diri dari keratin bersama putri-putri itu. Mereka menuju ke arah timur, masuk ke desa Magetan dan Ponorogo. Di desa ini, beliau mendirikan perkemahan sementara.
Lolosnnya Sri Sunan Paku Buwono II, membuka jalan bagi Mas Garendi untuk menduduki tahta. Kemudian, ia mengangkat dirinya sebagai Raja dengan gelar Sunan Kuning atau Sunan Kencet. Berita tentang munculnya raja baru di kerajaan Kartasura menyebar ke segala penjuru. Tidak mengherankan jika Sri Sunan Pakub Buwono II juga mendengar berita itu. Hatinya sangat masgul dan merasa sangat terpukul. Bagaimana mungkin Mas Garendi, putranya sendiri, sampai hati melakukan hal itu.Atas desakan beberapa pengawal, dan terutama upaya yang dilakukan oleh Patih Pringgoloyo dan Kompeni, Sri Sunan Paku Buwono II diminta menyusun kekuatan untuk merebut Kartasura kembali. Penyerbuan dilakukan dengan bantuan Kompeni, yang tidak hanya memberikan dukungan tentara dan senjata, tetapi juga nasihat-nasihat untuk mempercepat menyerahnya Mas Garendi. Sri Sunan Paku Buwono II menyetujui rencana serangan balik itu, tetapi berpesan agar menjaga jangan sampai jatuh korban terlalu banyak. Sebab, Mas Garendi dan pendukungnya adalah bagian dari kelaurganya sendiri; pasukan-pasukan mereka adalah kawula Raja sendiri. Mereka itu sebenarnya bukan musuh.
Dengan gerak cepat, tahta akhirnya direbut kembali. Tidak begitu jelas bagaimana dengan nasib Mas garendi. Yang terang, ketika Sunan Paku Buwono II tiba di istana Kartasura, sang putra sudah tidak tampak. Namun,. Kembalinya tahta dan mahkota ke tangan Sunan Paku Buwono II tidak segera membuatnya tenteram. Perasaan was was terus menghantui. Akhirnya, pada suatu malam, sunan berkenan bersamadi. Dalam keheningan malam, ia merasakan ada petunjuk dari Sang Maha Pencipta bahwa keratin memang harus pindah. Ada tiga kemungkinan desa yang dapat dipilih, yakni Kadipala, desa Sala, atau Sanasewu. Dari tiga tempat itu, desa Sala yang dipilih. Petunjuk itu juga mengatakan bahwa kelak, keadaan kerajaan akan mundur. Namun, jika keraton didirikan di desa Sala, walaupun wilayahnya kelak tinggal selebar payung terbuka, ibaratnya, akan dapat bertahan sepanjang zaman.
Pada pagi harinya, segera ditunjuklah orang-orang yang ditugasi memeriksa desa Sala. Diantara mereka adalah pangeran Wijil, Kiai Pekih Ibrahim, Tumenggung Tirtawiguna, Kiai plonthang dan dipimpin oleh Patih Pringgoloyo. Seorang tentara Belanda, Mayor Hogendor, mengajukan diri untuk mengikuti pemeriksaan desa itu. Sebenarnya, wirati tidak setuju dengan masuknya Hogendorp. Sebagai seorang wanita cerdas, ia tahu kelicikan Belanda. Akan tetapi, pada waktu itu usul dari seorang wanita kurang mendapat tanggapan layak. Apalagi Wirati masih dianggap belum cukup dewasa. Oleh Karen itu, Hogendorp tetap diikutsertakan dalam pemeriksaan desa Sala. Ketika rombongan tiba di desa itu, mereka baru tahu mengapa desa itu disebut Sala. Adapun sebabnya, di desa itu tumbuh pepohonan yang oleh penduduk desa disebut pohon Sala. Di samping itu, desa itu dipimpin oleh seorang tetua yang disebut Kiai Ageng Sala. Tetua ini merupakan keturunan ketiga. Ayah dan kakeknya juga dikenal dengan nama Kiai Sala.
Setelah diadakan pembicaraan panjang lebar termasuk bagaimana memindahkan penduduk yang tinggal di desa itu, akhirnya untuk membuka hutan, meratakan tanah, dan membangun keraton cukup lama. Berbagai gangguan yang sering terjadi, mialnya para pekerja tiba tiba mengalami kejang-kejang. Walaupun mungkin akibat suatu penyakit biasa, pada waktu itu, peristiwa demikian dianggap akibat gangguan makhluk makhluk halus. Oleh para penasihat Raja dianjurkan untuk mengatasinya, perlu ada upacara-upacara. Keraton akhirnya dapat didirikan dengan selamat. Pada saat peresmian, sejumlah undangan hadir, termasuk orang-orang Belanda. Sri Sunan Paku Buwono II kemudian berkenan mengatakan bahwa mulai saat itu, wilayah kekuasaan kerajaan disebut Surakarta Hadiningrat yang lebih dikenal dengan kota Sala. Nama Sala diabadikan dan ditetapkan sebuah ibukota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar