Kamis, 21 April 2016

DONGENG SEJARAH KOTA SLAWI



DONGENG SEJARAH KOTA SLAWI
Seperti Kota Tegal, ternyata Slawi pun sudah berumur ratusan tahun. Awal riwayatnya sezaman dengan kehidupan tokoh Ki Gede Sebayu yang berhasil mendirikan Tetegal pada awal tahun 1600-an. Dikisahkan bahwa salah seorang anak putri Ki Gede Sebayu yang bernama Nini Dwijayanti memang terkenal cantik, cerdas, dan cekatan. Kegemarannya menunggang kuda membikin banyak orang semakin kagum. Konon, kalau Nini Jayanti sedang di atas pelana kuda kesayangannya akan tampak seperti bidadari yang turun dari langit biru. Jadi, wajarlah bila namanya populer di kalangan masyarakat. Wajar juga banyak pemuda atau perjaka yang ingin menyuntingnya. Ki Gede Sebayu sering didatangi utusan yang menanyakan keadaan NIni Jayanti. Ada yang berterus terang ingin melamar, ada juga yang hanya sekadar mencari-cari keterangan. Pendek kata, Ki Gede Sebayu harus melayani banyak orang yang sama-sama berharap dapat menyunting Nini Jayanti. Ternyata hal itu menimbulkan kerepotan sebab keputusan bukan di tangannya sendiri. Jadi, tidaklah gampang menjawab atau menolaknya. Kemudian pada suatu senja, berkatalah dia kepada Nini Jayanti dengan kata-kata yang ramah. “Ketahuilah anakku, sudah banyak orang yang menanyakan dirimu. Kata mereka, Nini Jayanti sudah pantas bersanding dengan seorang jejaka yang tampan. Lantas, bagaimana pendapatmu sendiri?’ “Alhamdulillah, Kalau betul banyak yang memandang saya berlebihan. Padahal rasanya masih harus belajar banyak perkara. Sedangkan soal perkawinan, pasti Ayahanda sudah menyimpan kebijaksanaan,” jawab Nini  Jayantin dengan santun, tegas dan jelas. Jawaban itu membuat Ki Gede Sebayu merasa bangga dan terharu. Kemudian melanjutkan kalimatnya yang lembut.
“Nini Jayanti, perkawinan itu boleh dianggap gampang, tetapi kadang juga dianggap sukar. Buat orang jelata biasanya gampang. Namun sering menjadi sulit buat orang yang tinggi-tinggi.”
“Apakah sebabnya ayah ?”
“Kebutuhan orang jelata itu sederhana. Sedangkan kebutuhan orang berpangkat makin banyak. Jadi timbbullah kesulitan.”
“Saya sendiri ingin kehidupan yang sederhana. Mengapa harus dipandang sulit?”
“Kesulitan bukan pada dirimu, Jayanti. Yang sulit adalah menetapkan satu pilihan dari belasan calon suami. Jangan sampai kelak timbul penyesalan.”
Nini Jayanti terdiam sejenak. Kemudian menjawab dengan penuh kesantunan.
“Ketika Jayanti masih kecil sering mendengar dongeng dan hikayat tentang sayembara perkawinan. Apakah boleh dicontoh?”
“Engkau sungguh cerdas, Jayanti. Dengan sayembara itu akan tampak adil dan pasrah kepada takdir Illahi. Lantas, apakah sayembaranya?”
Ternyata Nini Jayanti tidak mengharapkan sayembara harta kekayaan, ketampanan, dan kepangkatan. Usulnya adalah sayembara kesaktian. Katanya siapa pun yang dapat menebang dan merobohkan pohon jati raksasa di gunung selatan akan dijadikan suami Nini Dwi Jayanti, biar pun dia jelata miskin, atau tidak berpangkat akan tetap dilayani sepanjang hayat.
Akhirnya diputuskan sayembara itu dilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon setelah sembahyang Jum’at. Tibalah pada hari yang ditentukan. Pada waktu itu datanglah 25 perjaka dari berbagai daerah dengan sejumlah pengiringnya. Kebanyakan dari mereka membawa pethel (Kampak). Pethel adalah alat pemotong kayu yang terbuat dari bilah besi yang kokoh bentuknya pipih dan terpasang miring pada kayu atau pegangan. Pethel itu harus diayunkan keras dengan tenaga keras agar tertancap mendalam dengan cara itulah biasanya batang kayu yang besar dan kokoh lama-lama akan tumbang.
Untuk menghormati keberanian mereka dibuatlah perkemahan di sekitar pohon jati raksasa tersebut, tiap perjaka diberikan satu kemah sehingga ada 25 kemah di gunung selatan. Tentu saja pada zaman itu belum ada kata kemah. Yang lazim adalah kata candi yang berarti ‘rumah’. Jadi, dalam waktu singkat berdirilah dua puluh lima candi di gunung selatan.
Ki Gede Sebayu membuka sayembara itu dengan doa yang khusyuk. Kemudian menegaskan kepada seluruh peserta sayembara agar tampil dengan jiwa satria. Katanya, yang gagal janganlah menyesal, sedangkan yang menang janganlah sombong. Kelak semuanya harus tetap bersahabat. Kalau perlu dijamin damai tinggal di Tetegal. Pendek kata, semuanya harus berserah diri kepada takdir Illahi.
Setiap peserta disediakan waktu sehari penuh untuk melaksanakan tugasnya. Pada malamnya, mereka dihibur dengan seni kentrung, seni mendongeng hikayat dengan iringan musik seperti rebana dan kendang. Lakon yang dipilih adalah Hikayat Putri Joharmanik dari Negeri Bagdad. Konon, Putri Joharmanik adalah citra seorang gadis yang cantik, cerdas, dan cekatan.
Satu per satu mereka memperlihatkan kehebatan masing-masing. Tepuk tangan dan sorak sorai penonton semarak berkepanjangan. Setiap sore berduyun-duyun penduduk ingin menyaksikan robohnya jati raksasa. Akan tetapi, selama belasan hari belum ada tanda-tandanya. Padahal setiap peserta sudah menguras tenaganya dengan susah payah. Ternyata pohon itu tetap bertahan. Bahkan keesokan paginya pulih seperti asalnya.
Namun, hal itu tidak mengendurkan semangat para peserta. Yang sudah gagal pun masih bertahan di kemahnya. Ingin menyaksikan siapakah kelak pemenangnya.
Pada hari-hari terakhir, tontonan itu semakin meriah. Orang-orang semakin penasaran hendak mengetahui sang pemenang. Sampai-sampai banyak penduduk yang tidak pulang ke rumahnya. Bahkan ada yang mengajak istri dan anak-anaknya. Mereka bertahan di sanan karena dijamin makan dan minum oleh Ki Gede Sebayu. Pendek kata, tempat itu mendadak manjadi pusat keramaian.









Pada hari terakhir, suasana semakin tegang. Ki Gede Sebayu terus komat-kamit berdoa. Wajah Nini Jayanti pun memucat. Matanya meredup menahan tangis sambil bergayut ke pundak ibunya. Pikirnya, Kalau tak ada yang menang, bagaimanakah nasibnya?
Menjelang sore datanglah seorang santri diiringi sejumlah remaja yang santun-santun. Dia mengaku bernama Ki Jadug dan memohon izin mengikuti sayembara. Dia terlambat karena memang baru saja mendengar kabar di perjalanan. Kemudian berkatalah Ki Gede Sebayu dengan nada rendah. “Baiklah. Silakan mencobanya. Mudah-mudahan Allah melimpahkan mukjizat-Nya kepadamu.” Sejenak Ki Jadug berpamitan untuk berwudu, lantas bersembahyang dua rekaat disaksikan seluruh penonton yang berdebar. Ada yang kontan ikut berdoa. Ada yang mengusap air mata. Ada yang tersenyum kecut. Ada juga yang secara lirih mengejeknya. Tidak lama kemudian, tampaklah Ki Jadug mengayunkan kampaknya dengan jurus silat yang hebat. Ternyata pada ayunan kelima terdengarlah gemuruh angin lesus dan bumi pun berguncang. Orang-orang berlarian menjauhi gelanggang. Pada saat itulah pohon jati raksasa roboh perlahan-lahan tanpa menyentuh seorang pun di sekitarnya. Lantas terdengarlah sorak sorai berkepanjangan. Setelah mereda, berkatalah Ki Gede Sebayu kepada segenap orang yang hadir.
“Saudara-saudaraku, saksikanlah, takdir Allah menetapkan Ki Jadug menjadi Suami Nini Jayanti. Upacara pernikahan akan dilaksanakan dengan syariat Islam dan adat yang pantas. Saksikan juga bahwa jati keramat ini adalah milik kita bersama. Kelak akan menjadi tiang utama atau saka guru keraton di bumi Tetegal. Saksikan juga kelak apabila tempat ini menjadi makmur akan bernama Candi Selawe. Sekarang bubaran dan bersyukur kepada Allah SWT.” Orang-orang pun bubaran dengan hati yang lapang. Kelak tahulah mereka bahwa santri Ki Jadug adalah seorang bangsawan Mataram. Dia sengaja mengembara untuk berguru dan berdakwah. Setelah menikah dengan Nini Dwijayanti lantas menggunakan nama aslinya, Pangeran Purbaya. Mereka hidup bahagia dan dikenal sebagai tokoh terpandang di daerah Tegal.
Adapun nama Candi Selawe yang berarti ‘candi’ atau rumah dua puluh lima buah’ itu lama-lama terucapkan Selawe atau Selawi atau Slawi seperti sekarang. Pada tahun 1956, kota tersebut ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Tegal. Namun, Perpindahan Kantor Kabupaten Tegal ke Slawi baru berlangsung pada tahun 1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar