DONGENG SUNAN BAYAT
Nama asli Sunan Bayat : Sayyid Maulana Muhammad Hidayatullah
Nama Lain / Gelar-gelar Sunan Bayat adalah:
Nama Lain / Gelar-gelar Sunan Bayat adalah:
1.
Pangeran
Mangkubumi,
2.
Susuhunan
Tembayat,
3. Sunan Pandanaran (II), [Kata-kata Pandanaran juga berasal dari
bahasa Jawa Kawi yaitu Pandanarang = artinya kota Suci]
4.
WahyuWidayat
Beliau Hidup pada masa Kesultanan Demak dan Giri Kedathon (Pad
abad ke-16 M, di era Kesultanan Demak tersebut, Jabatan penasehat Sultan
dipegang oleh Sunan Giri, Dan Sunan Giri mendirikan Kerajaan di daerah Giri Gresik
dengan nama Giri Kedathon dan merupakan Kerajaan bagian dari kesultanan Demak)
Makam beliau terletak di perbukitan ("Gunung Jabalkat"
berasal dari kata Jabal Katt artinya Gunung yang tinggi dan jauh ) di wilayah
Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah dan masih ramai diziarahi orang hingga
sekarang.
***
Ki Ageng
Pandanaran atau bernama asli Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sunan Bayat atau
Sunan Tembayat adalah Bupati Kedua Semarang (kini Kota Semarang), Jawa, Tengah
Indonesia. Selain sebagai kepala pemerintahan, ia juga dikenal sebagai tokoh
penyebar agama Islam yang sakti. Bagaimana sepak terjang Ki Ageng Pandanaran
menjalankan tugas-tugas pemerintahan sekaligus menyebarkan agama Islam ke
masyarakat Jawa Tengah? Ikuti kisahnya dalam cerita Ki Ageng Pandanaran
berikut!
***
Alkisah, sekitar
abad ke-16 M., hiduplah seorang bupati yang bernama Pangeran Mangkubumi yang
memerintah di daerah Semarang.Ia adalah putra dari Bupati Pertama Semarang
Harya Madya Pandan. Sepeninggal ayahandanya, Pangeran Mangkubumi menggantikan
kedudukan sang ayah sebagai Bupati Kedua Semarang dengan gelar Ki Ageng
Pandanaran. Ia diangkat menjadi kepala pemerintahan Semarang pada tanggal 2 Mei
1547 M. atas hasil perundingan antara Sutan Hadiwijaya (penasehat Istana Demak)
dengan Sunan Kalijaga.
Sebagai kepala
pemerintahan, Ki Ageng Pandanaran melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh
sang ayah. Di sela-sela kesibukannya mengurus tugas-tugas pemerintahan, ia juga
giat mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan untuk membina rakyatnya. Kegiatan
tersebut di antaranya mengadakan pengajian secara rutin, menyampaikan
ceramah-ceramah melalui khotbah Jumat, serta mengembangkan pondok-pondok
pesantren dan tempat-tempat ibadah. Dengan demikian, ia dianggap telah berhasil
menjalankan tugas-tugas pemerintahan dengan baik dan patuh kepada ajaran-ajaran
Islam seperti mendiang ayahnya, sehingga rakyatnya pun hidup makmur dan damai.
Namun, sifat
manusia dapat saja berubah setiap saat.Demikian pula Ki Ageng Pandanaran
sebagai seorang manusia.Keberhasilan yang telah dicapai membuatnya lupa
diri.Sifatnya yang dulu baik tiba-tiba berubah menjadi congkak, sombong, dan
kikir.Ia senang mengumpulkan harta untuk kemewahan. Kehidupan mewah itu pun
membuatnya lalai terhadap tugas-tugasnya, baik sebagai kepala pemerintahan
maupun pengembang agama Islam.Ia tidak pernah lagi memberikan pengajian dan
ceramah kepada rakyatnya. Demikian pula, ia tidak pernah merawat pondok
pesantren dan tempat-tempat ibadah.
Mengetahui sikap
dan perilaku Ki Ageng Pandanaran tersebut, Sunan Kalijaga segera
memperingatkannya dengan cara menyamar sebagai penjual rumput. Dengan
kecerdikannya, sang sunan menyisipkan nasehat-nasehat kepada sang bupati pada
saat menawarkan rumputnya.
Suatu hari,
datanglah Sunan Kalijaga ke kediaman Ki Ageng Pandanaran dengan mengenakan
pakaian compang-camping layaknya seorang tukang rumput. Di sela-sela menawarkan
rumputnya, sang sunan menasehati Ki Ageng Pandanaran agar tidak terbius oleh
kemewahan dunia.
“Maaf, Tuan! Sebaiknya Tuan segera
kembali ke jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT!” ujar Sunan Kalijaga yang
menyamar sebagai penjual rumput.
“Hai, tukang rumput!Apa maksudmu
menyuruhku kembali ke jalan yang benar? Memang kamu siapa, sudah berani
menceramahiku?” tanya Ki Ageng Pandanaran dengan nada menggertak.
“Maaf, Tuan! Saya hanyalah penjual
rumput yang miskin.Hamba melihat Tuan sudah terlalu jauh terlena dalam
kebahagiaan dunia.Saya hanya ingin memperingatkan Tuan agar tidak melupakan
kebahagiaan akhirat.Sebab, kebahagiaan yang abadi adalah kebahagiaan akhirat,”
ujar si penjual rumput.
Mendengar
nasehat itu, Ki Ageng Pandanaran bukannya sadar, melainkan marah dan mengusir
si penjual rumput itu.Meski demikian, si penjual rumput tidak bosan-bosannya
selalu datang menasehatinya.Namun, setiap kali dinasehati, Ki Ageng Pandanaran
tetap saja tidak menghiraukan nasehat itu.Khawatir perilaku penguasa daerah
Semarang itu semakin menjadi-jadi, Sunan Kalijaga menunjukkan kesaktiannya.
“Wahai Bupati yang angkuh dan
sombong!Ketahuilah, harta yang kamu miliki tidak ada artinya dibandingkan
dengan harta yang aku miliki,” kata penjual rumput itu.
“Hai, tukang rumput! Kamu jangan
mengada-ada! Buktikan kepadaku jika kamu memang orang kaya!” seru Ki Ageng
Pandanaran.
Akhirnya, Sunan
Kalijaga menunjukkan kesaktiannya dengan mencangkul sebidang tanah.Setiap
bongkahan tanah yang dicangkulnya berubah menjadi emas.Ki Ageng Pandanaran
sungguh heran menyaksikan kesaktian penjual rumput itu.Dalam hatinya berkata
bahwa penjual rumput itu bukanlah orang sembarangan.
”Hai, penjual rumput! Siapa kamu
sebenarnya?” tanya Ki Ageng Pandanaran penasaran bercampur rasa cemas.
Akhirnya,
penjual rumput itu menghapus penyamarannya.Betapa terkejutnya Ki Ageng Ki Ageng
Pandanaran ketika mengetahui bahwa orang yang di hadapannya adalah Sunan
Kalijaga.Ia pun segera bersujud seraya bertaubat.
“Maafkan, saya Sunan!Saya sangat
menyesal atas semua kekhilafan saya selama ini.Jika Sunan tidak keberatan,
izinkanlah saya berguru kepada Sunan!” pinta Ki Ageng Pandanaran.
“Baiklah, Ki Ageng! Jika kamu
benar-benar mau bertaubat, saya bersedia menerimamu menjadi murdiku. Besok
pagi-pagi, datanglah ke Gunung Jabalkat! Saya akan menunggumu di sana. Tapi
ingat, jangan sekali-kali membawa harta benda sedikit pun!” ujar Sunan Kalijaga
mengingatkan.
Dengan tekad
kuat ingin belajar agama, Ki Ageng Pandanaran akhirnya menyerahkan jabatannya
sebagai Bupati Semarang kepada adiknya. Setelah itu, ia bersama istrinya
meninggalkan Semarang menuju Gunung Jabalkat. Namun, ia lupa mengingatkan
istrinya untuk tidak membawa harta benda sedikit pun. Naluri sebagai seorang
wanita, sang istri memasukkan seluruh perhiasan dan uang dinarnya ke dalam
tongkat yang akan di bawanya.
Dalam
perjalanan, sang istri selalu tertinggal jauh di belakang suaminya karena
keberatan membawa tongkatnya yang berisi harta benda. Ki Ageng Pandanaran pun
baru menyadari hal tersebut setelah mendengar istrinya berteriak meminta
pertolongan.
“Kangmas, tulung! Wonten Tyang salah
tiga!” artinya “Kangmas, tolong! Ada tiga orang penyamun!”
Mendengar
teriakan itu, Ki Ageng Pandanaran segera berlari menolong istrinya. Begitu tiba
di dekat istrinya, ia mendapati tiga orang penyamun sedang berusaha merebut
tongkat istrinya. Dengan perasaan marah, ia menegur ketiga penyamun itu.
“Hai, manusia!Mengapa kamu nekad seperti
kambing domba!” seru Ki Ageng Pandanaran melihat sikap kasar penyamun itu.
Seketika itu
pula, wajah pemimpin penyamun yang bernama Sambangdalan berubah menjadi wajah
domba.Rupanya, sejak direstui menjadi murid Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran
memiliki kesaktian yang tinggi.Ucapan yang keluar dari mulutnya menjadi sakti
mandraguna.Melihat kesaktian itu, para penyamun tersebut menjadi
ketakutan.Sambangdalan pun bertaubat dan meminta agar wajahnya dikembalikan
seperti semula.
Akhirnya, Ki
Ageng Pandanaran pun memaafkan mereka. Meski demikian, wajah pemimpin penyamun
itu tetap seperti domba dan kemudian menjadi pengikut Ki Ageng Pandanaran yang
dikenal dengan nama Syekh Domba.
Setelah itu, Ki
Ageng Pandanaran bersama sang istri melanjutkan perjalanan. Tak beberapa lama
kemudian, tibalah mereka di Gunung Jabalkat.Kedatangan mereka disambut baik
oleh Sunan Kalijaga.Sejak itulah, Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan
Kalijaga.
Ki Ageng
Pandanaran seorang murid yang cerdas dan rajin. Berkat kecerdesannya, ia
ditugaskan untuk menyiarkan agama Islam di sekitar daerah tersebut. Ia pun
mendirikan sebuah perguruan di Gunung Jabalkat. Ajaran Ki Ageng Pandanaran yang
paling menonjol dikenal dengan istilah Patembayatan, yaitu kerukunan dan
kegotongroyongan.Setiap orang yang datang untuk memeluk agama Islam harus
mengucapkan Sahadat Tembayat. Berkat ajaran Patembayatan, ia juga berhasil
mendirikan sebuah masjid di Bukit Gala.
Selain
pengetahuan agama, Ki Ageng Pandanaran juga mengajarkan cara bercocok tanam dan
cara bergaul dengan baik kepada penduduk sekitarnya. Setelah itu, ia pun
menetap di Jabalkat hingga akhir hayatnya. Daerah Jabalkat dan sekitarnya
sekarang dikenal dengan nama Tembayat atau Bayat. Itulah sebabnya ia diberi
gelar Sunan Tembayat atau Sunan Bayat. Hingga kini, makam Ki Ageng Pandanaran
dapat ditemukan di atas Bukit Cakrakembang di sebelah selatan bukit Jabalkat,
Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar