Minggu, 01 November 2015

DONGENG MISTIS GUNUNG SINDORO


DONGENG GUNUNG SINDORO
Jejak Legenda Nyai Makukuhan di Gunung Sindara, Temanggung, Jawa Tengah
Menurut cerita Mbah Merta (99 tahun), salah satu sesepuh warga Gandasuli, dusun yang ada di kaki Gunung Sumbing, Sang Makukuhan setelah meninggal dimakamkan di Kedu. Kemudian makamnya dipindahkan ke Dukuh Suman, dan dipindahkan lagi di puncak Gunung Sumbing, sedangkan makam Nyai Makukuhan berada di puncak Gunung Sindara.
menurut catatan Smithsonian Institution Gunung Sindara atau Sindoro di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, pernah meletus pada tahun 1720. Saat itu luncuran semburan awan panas dan material sampai sejauh 13 km dari puncak. Mungkin letusan tahun 1720 itu yang menenggelamkan Situs Liyangan Purbasari yang belum lama ini kembali ditemukan keberadaannya setelah dilakukan penggalian tahun 2010. Bisa jadi pula situs itu terbenam karena letusan hebat yang pernah terjadi pada tahun sebelumnya.
Pasalnya, Prasasti Rukam yang dikeluarkan oleh Dyah Balitung tahun 907 M menyebut adanya letusan gunung yang mengakibatkan rusaknya Dusun Rukam yang termasuk wilayah ibukota. Menilik tempat ditemukannya prasasti di Desa Petarangan daerah pertemuan antara kaki Gunung Sindara dan Sumbing, letusan gunung yang dimaksud bisa jadi adalah letusan Gunung Sumbing, bisa juga letusan Gunung Sindara. Dua gunung yang berdekatan itu dianggap suci pada zaman Mataram Lama.
Nama Gunung Sindara itu disebut dalam prasasti pada bagian sepata atau sumpah kutuk bagi yang melanggar. Gunung yang menyimpan legenda Nyai Makukuhan dalam bayang asap sulfatara. Legenda yang masih berhembus luas di kalangan warga, pula bagi para peminat laku budaya tradisi lama yang datang berkunjung setiap malam 1 Sura. Namun siapakah sejatinya Nyai Makukuhan itu?
salah seorang pewaris tradisi budaya berdoa di candi Situs Liyangan Purbasari Ngadirejo,
di lereng Gunung Sindoro
Dalam Tantu Panggelaran, kitab sastra yang ditulis oleh seorang pujangga di Kapujanggan Kutritustan pada paruh pertama abad XVI, diceritakan tentang keadaan tanah Jawa pada masa lampau. Pada zaman kadewatan, zaman para dewa turun ke Tanah Jawa memberi aneka macam pelajaran.
Begini ceritanya. Syahdan Bathara Guru mengutus sekalian dewa turun ke Tanah Jawa. Hyang Brahma turun menjadi tukang pande besi. Hyang Wishwakarma turun menjadi ahli bangunan. Hyang Ishwara turun menjadi guru bahasa. Hyang Mahadewa turun menjadi tukang pande mas.
Sementara itu Bhatara Wishnu turun ke dunia dan menjelma menjadi Sang Kandyawan. Permaisurinya Bhatari Sri menjelma menjadi Sang Kanyawan. Mereka tinggal di Medang Gana yang kala itu sudah berpenghuni. Kehadirannya tiada lain untuk mengajari warga menenun, memakai pakaian dodot, berselendang, dan sebagainya.
Menurut yang empunya cerita selama bertahta di Medang Gana, Sang Kandyawan berputra lima orang. Si sulung diberi nama Sang Makukuhan, kemudian Sang Sandanggarba, Sang Katunglaras, Sang Karungkalah dan si bungsu Sang Wertikandayun.
Para petani menanam padi. Mereka diyakini sebagai penerus Nyai Makukuhan,
yang mengajarkan bercocok tanam
Tak lama berselang turunlah empat kendaraan Bhatari Sri berupa burung yaitu burung kitiran, puter, wuru-wuru sepang, dan dara wulung. Burung-burung itu turun membawa biji-bijian yang disimpan dalam temboloknya. Burung tersebut dikejar-kejar oleh para putra sampai warung, dan setelah tertangkap dilukai oleh Wertikandayun.
Dari tembolok burung kitiran keluar biji putih, dari dara wulung keluar biji hitam, dari wuru-wuru sepang keluar biji merah dan dari puter keluar biji kuning. Baunya semerbak mewangi. Girang hati para putra. Biji kuning dimakan sedikit demi sedikit sampai habis oleh kelima putra Sang Kandyawan. Itulah yang jadi penyebab sampai saat ini tak ada biji-bijian berwarna kuning. Yang tersisa hanya kulitnya saja. Kulit biji kuning oleh Sang Makukuhan ditanam dan tumbuh menjadi kunyit. Sementara biji putih, merah dan hitam ditanam juga oleh Sang Makukuhan, yang sampai saat ini membuahkan hasil berupa aneka biji-bijian berwarna merah hitam dan putih.
Setelah anak-anak itu dewasa Sang Kandyawan dan Sang Kanyawan berkehendak meninggalkan kelima anaknya, dan berharap putranya mau menggantikan kedudukannya sebagai penguasa di Medang Gana. Tapi tak ada satu putranya pun yang mau. Untuk menentukan siapa calon pengganti, mereka membuat undian dari daun ilalang. Barang siapa mencabut daun ilalang yang bersimpul, dialah yang harus menggantikan kedudukan ayahnya.
Mereka pun satu per satu mencabut ilalang mulai dari si sulung disusul oleh adik-adiknya. Ilalang bersimpul ternyata diambil oleh Sang Wertikandayun. Itu berarti dialah yang bakal meneruskan tahta kerajaan Medang Gana. Sementara itu yang lain bersepakat dalam tugas lainnya. Sang Karungkalah menjadi jagal, menyediakan sekalian daging. Sang Katunglaras menjadi penyadap, menyediakan jenis minuman. Sang Sandanggarba menjadi pedagang, menyediakan kebutuhan sandang. Sang Makukuhan menjadi petani, menyediakan kebutuhan pangan.
Selama menyediakan pangan Sang Makukuhan dibantu oleh Nyai Makukuhan, istrinya, yang dengan setia menemani sampai akhir hayatnya.
Menurut cerita Mbah Merta (99 tahun), salah satu sesepuh warga Gandasuli, dusun yang ada di kaki Gunung Sumbing, Sang Makukuhan setelah meninggal dimakamkan di Kedu. Kemudian makamnya dipindahkan ke Dukuh Suman, dan dipindahkan lagi di puncak Gunung Sumbing, sedangkan makam Nyai Makukuhan berada di puncak Gunung Sindara.
Letak makam Nyai Makukuhan berada di sebelah kanan jalan naik dari lajur Kledhung. Ini jalur pendakian termudah yang disukai para pendaki dan para pewaris tradisi budaya yang masih setia melestarikan legenda Nyai Makukuhan di tengah arus modernitas. Semoga tetap lestari, karena legenda Nyai Makukuhan menjadi salah satu pilar kearifan lokal yang ikut menjaga kelestarian kawasan Gunung Sindaro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar